Sabtu, 23 Juni 2012

PERTAMBANGAN EMAS TANPA IZIN ( PETI )



NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta


KASUS POSISI

Kasus Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang banyak terjadi di Provinsi Jambi, salah satunya di sepanjang sungai Tanjung Menanti Kecamatan Bathin III-Bungo. Selain aktivitas pertambangan yang tidak dilengkapi dengan izin, juga aktivitas penambangan emas tersebut merusak alam dan ekosistem serta menyengsarakan kehidupan warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti di saat kemarau, sumur warga kering dan air sungai yang seharusnya dapat dimanfaatkan, sudah tercemar akibat limbah

PERAN PERJANJIAN BILATERAL-MULTILATERAL TERHADAP STATUS INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

model: Udiankk...

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta


 Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya konsepsi mengenai Hukum Laut Internasional adalah berasal dari konsepsi-konsepsi hukum perdata Negara Yunani, salah satu contohnya ialah konsepsi Negara kepulauan.
Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki tidak kurang dari 13.000 - lebih dari 17.508 pulau baik besar maupun kecil, dan dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km, serta memiliki luas laut sekitar 3,1 Juta km. Sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia.
Negara Kepulauan adalah suatu Negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau dan wujud ilmiah lainnya, dimana antara pulau yang satu dan pulau yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan memiliki jarak-jarak yang wajar.
Konsepsi mengenai Negara Kepulauan merupakan suatu rezim hukum laut internasional yang baru mendapat pengakuan dengan disepakatinya Konveksi HUKLA 1982, dimana dengan adanya konvensi ini telah menimbulkan berbagai persoalan hukum, baik hukum internasional maupun nasional, yaitu menyangkut penggunaan istilah, cara penarikan garis pangkal kepulauan, pengukuran lebar laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, status hukum perairan kepulauan, penetapan batas perairan kepulauan, hak perikanan tradisional dan lain-lainnya ( Ramlan, 2006: 80 ).
Indonesia mengupayakan pengakuan sebagai Negara Kepulauan oleh dunia internasional

Kamis, 07 Juni 2012

PAHLAWAN DEVISA INDONESIA YANG BERKORBANKAN DERITA (untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum ketenagakerjaan)

  Model : Udink dan kawan seperjuangan...."siap-siap melakukan perjalanan"
NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Di Indonesia, kebutuhan masyarakat untuk bekerja sangatlah tinggi, namun karena kurangnya lapangan kerja, dimana semakin hari tidak bisa lagi menampung Tenaga kerja, menjadi hambatan dan permasalahan yang cukup besar dalam ketenagakerjaan, intinya adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan pekerjaanpun semakin meningkat, tapi lapangan kerjapun semakin berkurang. Sehingga persaingan dalam medapatkan pekerjaan di dalam Negeripun semakin ketat,sedangkan keadaan ekonomi keluargapun semakin memburuk. Akibatnya, mendorong banyak dari mereka sebagai pencari kerja, baik pria maupun wanita, terpaksa memilih memberanikan diri untuk mencari pekerjaan di luar negeri, bahkan

TINDAK KEJAHATAN KOMPUTER

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

BAB I
PENDAHULUAN


  
A.     Latar Belakang Masalah

Secara alamiah, manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya. Secara alamiah pula, manusia tidak mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya adalah menjaga eksistensi keberadaannya. Teknologi tanpa disertai hukum akan mengakibatkan kekacauan yang nantinya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri, salah satu contohnya adalah komputer.
Komputer adalah suatu perangkat ataupun sistem elektronik yang mengolah atau memproses data atau informasi sebagaimana yang diperintahkan (Makarim, 2004: 54).
Keberadaan komputer tidak dapat dilepaskan dari keberadaan orangnya, karena komputer sebagai perangkat adalah untuk membantu keperluan dari si orangnya untuk melakukan komputasi.
Komputer semakin berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi, yaitu perkembangan teknologi input, pemrosesan, output, dan penyimpanan. Kemudian daripada itu dalam sistem pengoperasiannya juga sudah menggunakan sistem digital, bahkan jaringan telekomunikasipun juga berkembang menjadi digital, yaitu dengan adanya Integrated Service Digital Network (Makarim, 2004: 66).
Seiring perkembangan teknologi tersebut mulailah bermunculan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya hingga menciptakan suatu tindak kejahatan yang merupakan pelanggaran hukum di bidang teknologi, khususnya teknologi komputer.
Penyalahgunaan komputer sebagai salah satu dampak dari perkembangan tersebut tidak terlepas dari sifatnya yang khas sehingga membawa persoalan baru yang agak rumit untuk dipecahkan, berkenaan dengan masalah penanggulangannya. Diperkirakan kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer ini telah menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh ada beberapa kejahatan komputer yang tidak terdeteksi oleh korban, dan tidak dilaporkannya kejahatan ini kepada pihak yang berwenang (Rian, 2009).
Penyalahgunaan komputer ini erat kaitannya dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pengguna komputer di dunia maya, yang sekarang ini sangat diminati oleh masyarakat dan pada keadaan seperti inilah orang-orang yang tidak bertanggun jawab tersebut mengambil kesempatan untuk melakukan pelanggaran telematika seperti Hacker, Cracker, Samp, Spayware. Sehingga pembahasan dalam bab ini lebih menekankan pada kejahatan komputer yang berhubungan erat dengan internet (cyberspace).
Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih dalam suatu kejahatan komputer, hacker, cracker, samp, dan spayware, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat perihal kejahatan komputer dalam sebuah makalah dengan judul pilihan adalah TINDAK KEJAHATAN KOMPUTER.

B. Rumusan Masalah
Dilandasi latar belakang masalah tersebut di atas serta agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan makalah nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan rumusannya yaitu
  1. Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan komputer ?
  2. Apakah yang dimaksud dengan Hacker?
  3. Apakah yang dimaksud dengan Cracker?
  4. Apakah yang dimaksud dengan Samp?
  5. Apakah yang dimaksud dengan Spayware?
C. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mendeskripsikan suatu kejahatan komputer.
  2. Untuk mendeskripsikan maksud dari Hacker.
  3. Untuk mendeskripsikan maksud dari Cracker.
  4. Untuk mendeskripsikan maksud dari Samp.
  5. Untuk mendeskripsikan maksud dari Spayware.

D. Manfaat Penulisan
  1. Ditujukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang agar melakukan cheks and balance dengan lebih mempersempit ruang gerak orang-orang yang ingin melakukan kejahatan komputer untuk mencegah penyalahgunaan komputer dan tetap menjaga hak privasi individu, yaitu dengan membentuk, memperjelas, dan memperketat undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan yang dilakukan dengan perantara komputer. Kemudian sekaligus ditujukan kepada aparat kepolisian agar lebih cermat mengamati kasus-kasus kejahatan komputer, dan segera menindaklanjuti suatu perkara kejahatan komputer jika adanya suatu pelaporan.
  2. Secara akademis ditujukan untuk pelajar, mahasiswa, dan pengajar sebagai sumbangan Ilmu Pengetahuan dimana akan menambah wawasan pelajar, mahasiswa, pengajar mengenai praktek-praktek kejahatan komputer, sehingga mereka akan memiliki pandangan yang bagus ke depan sebagai bentuk pandangan positif bahwa berbagai kejahatan komputer; hacker, creacker,samp, spayware, dan lain sebagainya merupakan suatu tindakan yang tidak bermoral yang mengandung unsur pidana. Selain itu juga sebagai titik tolak bagi pelajar, mahasiswa, pengajar untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
  3. Ditujukan kepada masyarakat yaitu dapat menambah wawasan yang lebih luas mengenai kejahatan komputer,agar kedepannya masyarakat dapat lebih berhati-hati dan dapat melakukan kontrol sosial pada orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Kejahatan Komputer

Di saat sekarang ini, seiring perkembangan zaman, teknologipun semakin berkembang. Teknologi tidak hanya menjamur di kalangan pejabat, menengah atas, menengah bawah, tapi bahkan mereka yang tidak mampu yang notabenenya adalah orang-orang dengan pendapatan finansialnya di bawah rata-rata, apalagi di saat sekarang sudah adanya perpaduan teknologi komputer, media dan teknologi informasi yang telah memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengatasi permasalahan geografis, sehingga berbagai aktifitas manusia tidak terhalang dengan jarak, ruang, dan waktu, salah satu contohnya ialah internet yang telah menghubungkan lebih dari 100.000 jaringan komputer di dunia. Keadaan ini membuat kejahatan komputer meningkat dengan amat cepat. Di masa yang serba otomatis dan terhubung ini tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya kejahatan komputer atau pelanggaran komputer yang menimbulkan suatu tindak pidana konvensional (Makarim, 2004: 394).
Kejahatan komputer adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak pidana atau komputer itu sendiri sebagai obyek tindak pidana (Makarim, 2004: 395).
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul aspek-aspek pidana di bidang komputer, kejahatan komputer adalah segala aktivitas tidak sah yang memanfaatkan komputer untuk tindak pidana (Ujeng, 2009).
Sekecil apapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari pengguna komputer secara tidak sah atau illegal merupakan suatu kejahatan. Sementara itu jika kejahatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan sarana cyber, maka kejahatan komputer dan cyber dapat berbentuk penipuan komputer; perbuatan pidana penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri; hacking; perbuatan pidana komunikasi; perbuatan pidana perusakan sistem komputer; perbuatan pidana yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten, dan lain-lain. Namun terlepas dari semua kejahatan yang terjadi itu, tentu ada penyebabnya, diantaranya karena sistem keamanan jaringan yang lemah; para pelaku merupakan orang-orang yang cerdas, mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan fanatic akan teknologi komputer; kurangnya perhatian masyarakat, mudah dilakukan dengan resiko keamanan yang kecil dan tidak diperlukan peralatan yang super modern; akses internet yang tidak terbatas dan lain sebagainya.
Maka dalam menghadapi perkembangan kejahatan komputer dan cyber itu semua, yang melibatkan berbagai pihak dalam juridiksi, teritorial, waktu, hukum, negara, pemerintah/negara harus tanggap, apakah masih dapat diselesaikan dengan hukum nasional yang berlaku, atau perlu pembaharuan dan kalau demikian apa perlu adanya konvensi internasional.

B. Hacker

ANALISIS SYARAT-SYARAT FORMIL DAN MATERIL TERHADAP SURAT GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA



NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta



ANALISIS


A. SYARAT-SYARAT FORMIL DAN MATERIL DARI SEBUAH SURAT GUGATAN ATAS SUATU KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG 

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa, Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan.
Tuntutan yang dimaksud di atas ialah suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan kepentingan seseorang atau badan hukum perdata, sehingga menyebabkan timbulnya Sengketa Tata Usaha Negara .
Secara garis besar Sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986 diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. Karena pada Pasal 62 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa gugatan yang diajukan dapat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar jika seseorang atau Badan Hukum dalam mengajukan suatu gugatan, dimana pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan.
Sebagai suatu permohonan, sudah tentu tidak setiap gugatan harus diterima oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, jika syarat-syarat dari gugatan belum atau tidak dipenuhi, baik syarat formil maupun syarat materil.
Di sini Penulis akan menguraikan syarat-syarat formil maupun materil sebuah surat gugatan berdasarkan pada Undang-undang.


Syarat-Syarat Formil Surat Gugatan
1. Identitas
Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No.9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa suatu gugatan harus memuat :
a. Identitas Penggugat
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Menurut Indroharto di dalam bukunya “Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara”, pengertian kepentingan dalam kaitannya dengan hukum Acara Tata Usaha Negara itu mengandung arti, yaitu menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum dan kepentingan proses, ialah menunjuk kepada apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan (Wiyono, 2007: 50).
Identitas penggugat meliputi:
 Nama lengkap penggugat
 Kewarganegaraan penggugat
 Tempat tinggal
 Pekerjaan penggugat
Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UU no.5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa “Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa”.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 56 UU No.5 Tahun 1986, bahwa identitas kuasa penggugat juga harus dicantumkan dengan lengkap, sebagaimana halnya identitas penggugat.
b. Identitas Tergugat
Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.5 Tahun 1986, yang disebut dengan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Identitas Tergugat meliputi:
 Nama jabatan
 Tempat kedudukan
Mengenai ketentuan identitas, selain diatur dalam Undang-undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, juga diatur lebih lanjut di dalam Surat Edaran No.2 Tahun 1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1986, pada Bagian I angka 6, menyebutkan bahwa :
a) Identitas penggugat harus dicantumkan secara lengkap, agar memudahkan pengiriman turunan surat gugatan dan panggilan-panggilan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
b) Di dalam surat gugatan, harus disebutkan terlebih dahulu nama dari pihak penggugat dan baru disebutkan nama kuasa yang mendampinginya, hal ini bertujuan untuk memudahkan penanganan kasus-kasus dan demi keseragaman model surat gugatan.
2. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Ketentuan mengenai tenggang waktu ini diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu “ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara “.
Mengenai masalah tenggang waktu mengajukan gugatan, yang harus diperhatikan juga adalah ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No.9 Tahun 2004, yakni dalam hal Badan atau Pejabat Tata Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kewajibannya, Maka setelah lewat jangka waktu yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara. Penghitungan daluwarsa mengajukan gugatan dalam hal itu adalah sejak lewat waktu yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara , atau kalau tidak ada ketentuan tenggang waktu Maka setelah lewat waktu empat bulan.
3. Diberi Tanggal
Suatu gugatan biasanya selalu diberi tanggal, hal ini akan akan sangat berguna untuk mengetahui sudah atau belum daluwarsanya pengajuan suatu surat gugatan, yaitu dengan membandingkan tanggal pengajuan gugatan dengan tanggal atau kapan sebuah keputusan yang digugat itu disampaikan atau diketahui oleh Penggugat. Dimana hal ini juga harus dibuktikan lebih lanjut dalam acara pembuktian, begitu juga dengan adanya pemberian Tanggal pada surat gugatan akan berguna untuk mengetahui apakah suatu gugatan adalah Prematur atau tidak.
4. Ditandatangani
Suatu surat gugatan haruslah ditandatangani oleh Penggugat atau oleh kuasanya yang sah untuk itu. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Surat Edaran No.2 Tahun 1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa, surat gugatan tidak perlu diberi Materai, karena hal tersebut tidak diisyaratkan oleh Undang-undang. Ini disebabkan oleh karena biaya Materai tersebut sudah dihitung dalam biaya perkara.
Dalam hal surat gugatan yang oleh Penggugatnya dikuasakan kepada Kuasanya, Maka surat gugatan tersebut ditandatangani oleh kuasanya tersebut, seperti yang diatur lebih lanjut dalam Surat Ketua Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Tanggal 24 Maret 1992 Nomor 051/Td.TUN/III/1992, Perihal: Juklak Yang Dirumuskan Dalam Peningkatan Keterampilan Hakim Peradilan Tata USaha Negara II Tahun 1991 pada Bagian I angka 2 huruf d, bahwa “ Apabila di dalam 1 (satu) surat gugatan disebutkan beberapa kuasa sebagai yang mengajukan/membuat surat gugatan, Maka semua kuasa yang disebut dalam surat gugatan tersebut harus turut serta menandatangani surat gugatan itu ”.

Syarat-Syarat Materil Surat Gugatan
1. Objek Gugatan
Objek gugatan harus disebutkan secara jelas dalam surat gugatan. Objek dari sebuah gugatan ialah Keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1986, “ Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasrkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan “penetapan tertulis” dalam Pasal di atas adalah menunjukkan kepada isi Keputusan Tata Usaha Negara, bukan kepada bentuk Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini dibuktikan lebih lanjut oleh Pasal 3 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986, bahwa “ Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, Maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara “. Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara seperti pada Pasal 3 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986 di atas dapat disebut juga dengan Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif.
Yang dimaksud dengan penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final adalah :
a. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
b. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju.
c. Bersifat final, artinya sudah definitive dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Suatu keputusan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baru dapat ditentukan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, jika sudah dikeluarkan dari kantor pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang.
Namun terdapat pengecualian yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No.9 Tahun 2004, yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
2. Dasar gugatan (fundamentum petendi / posita)
Dasar gugatan atau Posita berisikan dalil Penggugat untuk mengajukan gugatan, yang diuraikan secara ringkas dan sederhana.
Dasar gugatan ini fungsinya sangat penting dan menentukan pada pemeriksaan di siding Pengadilan Tata Usaha Negara nantinya. Oleh karena itu, uraian mengenai dasar gugatan harus jelas atau terang, sehingga tidak menimbulkan kekaburan. Karena berdasrkan Pasal 62 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan dapat menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar karena gugatan tersebut tidak didasarkan pada dalil-dalil atau alasan- alasan yang layak.
Posita atau dasar gugatan biasanya terdiri atas :
a. Kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa, merupakan uraian mengenai duduk perkaranya yang tertuju pada dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Tergugat yang oleh Penggugat dirasa merugikan.
b. Fakta hukum, berisikan fakta-fakta secara kronologis tentang adanya hubungan hukum anatara Penggugat dan Tergugat maupun dengan objek gugatan. Dalam fakta hukum juga menguraikan kapan keputusan yang menjadi objek gugatan dikeluarkan, atau diberitahukan kepada penggugat atau kapan mulai merasa kepentingan terganggu karena adanya keputusan tersebut.
Di dalam surat gugatan, Posita atau dasr gugatan ini harus dikemukakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No.9 Tahun 2004, yaitu alasan-alasan yang dapat digunakan dalam menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
3. Petitum
Petitum adalah kesimpulan gugatan yang berisikan hal-hal yang dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim.
Pada umumnya ada 5 bentuk gugatan Penggugat atau petitum, ialah:
a. Pencabutan gugatan
b. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru
d. Ganti rugi
e. Rehabilitasi
Semua syarat-syarat di atas harus terpenuhi dalam sebuah surat gugatan dan disusun dengan sebaik-baiknya agar dapat diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara, karena berdasrkan Pasal 62 ayat (1) huruf b Undang-Undang No.5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa sebuah gugatan dapat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar oleh Pengadilan, jika syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat, sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.



B. ANALISIS SYARAT-SYARAT FORMIL DAN MATERIL YANG TERDAPAT PADA CONTOH SURAT GUGATAN

Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan mengenai syarat-syarat formil dan materil dari surat gugatan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Pada pembahasan ini, Penulis akan mencoba menguraikan implementasi dari syarat-syarat formil dan materil pada pembahasan sebelumnya denga contoh bentuk surat gugatan atau mencocokkan syarat-syarat tersebut dengan contoh surat gugatan yang Penulis lampirkan pada bagian awal Penulisan ini.
Berpandangan pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, contoh surat di atas merupakan salah satu bentuk surat gugatan, karena secara garis besar berisi mengenai permohonan tuntutan terhadapap Badan ayau Pejabat Tata Usaha Negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika kita perhatikan contoh surat gugatan di atas, Maka hal ini dapat terlihat dengan adanya pencantuman “Perihal : Gugatan” dan disana dituliskan bahwa gugatan tersebut ditujukan kepada Pengadilan Tata Usaha Jambi.
Sebelum kita menguraikan lebih jauh mengenai apakah syarat-syarat formil dan materil pada contoh surat gugatan tersebut sudah terpenuhi atau belum. Hal terpenting yang harus pihak Penggugat ( penulis surat gugatan) perhatikan sebelum di ajukan ke Pengadilan dan yang harus di perhatikan oleh Pengadilan ketika ada surat gugatan yang akan diproses adalah “apakah kompetensi relative dari surat gugatan tersebut sudah sesuai atau belum?”.
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa “ Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat “.
Jadi, pada contoh surat di atas, jika dilihat dari tempat kedudukan Tergugat adalah di Jambi, Maka pengajuan surat gugatan di atas ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi sudah benar dan tepat.
Selanjutnya, kita akan masuk pada pokok pembahasan, yaitu analisis syarat-syarat formil dan materil yang terdapat pada contoh surat gugatan. Namun, untuk mempermudah pemahaman pembaca, apakah contoh surat gugatan di atas sudah memenuhi syarat formil dan materil sebuah gugatan atau belum, Maka Penulis akan mencoba menjelaskan atau menguraikannya satu persatu dari syarat formil dan materil yang terkandung dalam surat gugatan tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.


Syarat-Syarat formil

Secara garis besar Syarat formil suatu surat gugatan adalah Identitas, tenggang waktu, diberi tanggal, dan tanda tangan.
1. Apakah sudah disebutkan siapa saja pihak-pihak yang terkait pada contoh surat gugatan di atas?
 Para pihak pada contoh surat gugatan tersebut sudah disebutkan dengan jelas. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penyebutan penggugat dan tergugat, seperti adanya kalimat:
• “Untuk selanjutnya disebut sebagai…..PENGGUGAT”
• “Untuk selanjutnya disebut sebagai…..TERGUGAT I”
• “Untuk selanjutnya disebut sebagai…..TERGUGAT II”
2. Apakah identitas penggugat sudah dicantumkan secara lengkap sesuai perintah dari Surat Edaran No.2 Tahun 1991 yang berdasarkan pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986?
 Pada surat gugatan tersebut sudah mencantumkan identitas penggugat, terbukti dengan dituliskannya identitas penggugat sebagai berikut
Nama : Mardiana
Tempat/Tgl lahir : Riau, 15 Juni 1939
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. D.I Panajaitan No.25 RT.27 RW.008
Kel.Jelutung Kec. Jelutung Kota Jambi
Namun identitas penggugat yang dicantumkan pada surat gugatan tersebut masih belum bisa dikatakan lengkap, karena identitas penggugat pada contoh surat gugatan di atas masih memiliki kekurangan, yaitu dengan tidak dicantumkannya pekerjaan penggugat, padahal yang harus dimuat pada identitas penggugat berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 salah satunya adalah harus memuat pekerjaan penggugat.
3. Apakah penggugat pada surat gugatan tersebut menggunakan kuasa hukum? Bagaimanakah pencantuman identitasnya?
 Pada surat gugatan tersebut, penggugat penggugat yang dalam hal ini adalah Mardiana, menggunakan kuasa dalam perkara gugatan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Surat Kuasa Khusus Nomor :01/LOASA/SKK/PTUN-JBI/VIII/2010, tanggal 30 Agustus 2010 Kepada Adi saputra, SH dan Siti hatijah, SH.
Identitas kuasa hukum penggugat berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 juga mengisyaratkan untuk mencantumkannya dengan lengkap. Identitas kuas penggugat pada contoh surat gugatan di atas dapat terlihat dari adanya pencantuman;
“Dengan ini memberikan kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 01/LOASA/SKK/PTUN-JBI/VIII/2010, tanggal 30 Agustus 2010 kepada ;
ADI SAPUTRA, SH, SITI HATIJAH, SH, Pekerjaan: Advokat, Kewarganegaraan: Indonesia, yang tergabung pada Law Office Adi Saputra & Associates, selaku Kuasa Hukum yang beralamat di Jl. Briyan II No.22 RT.13 Komp. PU Kel.Pasir Putih Kec.Jambi Selatan Kota Jambi”.
4. Apakah identitas tergugat sudah dicantumkan secara lengkap berdasarkan pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986?
 Identitas tergugat pada surat gugatan di atas sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986, ialah terbukti dengan adanya pencantuman identitas tergugat seperti sebagai berikut;
TERGUGAT I
Nama jabatan : Walikota Jambi
Kedudukan : Jl. Basuki Rahmad No.1 Kec. Kota Baru Kota Jambi Provinsi Jambi
TERGUGAT II
Nama jabatan : Kepala Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Jambi
Tempat kedudukan: Jl. H. Zainir Havis, BA No.60 Kec. Kota Baru Kota Jambi Provinsi Jambi.
5. Apakah dalam contoh surat gugatan tersebut susunan penulisan nama para pihak sudah berdasarkan pada ketentuan Bagian I angka 6 Surat Edaran No.2 Tahun 1991, seperti yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya?
 Pada surat gugatan di atas, susunan penulisan nama para pihak sudah berdasarkan pada ketentuan Bagian I angka 6 Surat Edaran No.2 Tahun 1991, dimana hal itu terlihat dari pencantuman identitas para pihak, yang terlebih dahulu mencantumkan identitas penggugat, setelah itu baru disebutkan identitas kuasa yang mendampingi penggugat, dan kemudian mencantumkan identitas tergugat.
6. Apakah pengajuan gugatan tersebut masih dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh ketentuan Undang-Undang atau peraturan lainnya?
 Berdasarkan uraian tentang duduk perkara pada contoh surat gugatan di atas, serta mengacu pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana objek-objek gugatan yang diterbitkan oleh para tergugat dan jeda waktu penggugat mengajukan gugatan masih dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh Undang-Undang. Karena pada perkara gugatan ini, penggugat (Mardiana)baru dikemudian hari mengetahui adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Maka, selain Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagai landasan untuk memperkuat bahwa gugatan tersebut masih dalam tenggang waktu yang dibenarkan, juga diperkuat dengan adanya Surat Edaran No.2 Tahun 1991 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Bagian ke-5 angka 3, yang menyatakan bahwa “ Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi merasa kepentingannya dirugikan, Maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut.
7. Adakah di dalam contoh surat gugatan di atas dicantumkan tanggal pembuatan atau pengajuan gugatan?
 Contoh surat gugatan di atas sudah memenuhi salah satu syarat formil gugatan, yaitu adanya pencantuman tanggal. Hal ini dapat terlihat di bagian atas halaman pertama surat gugatan, dimana gugatan tersebut dibuat atau diajukan di Jambi pada tanggal 13 September 2010.
8. Apakah gunanya pencantuman tanggal pada contoh surat gugatan tersebut?
 Pemberian tanggal pada surat gugatan sangat berguna sekali untuk mengetahui sudah atau belum daluwarsanya suatu surat gugatan, yaitu dengan membandingkan tanggal pengajuan gugatan dengan tanggal/kapan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu dikeluarkan atau disampaikan atau diketahui oleh penggugat, Misalnya pada contoh surat gugatan di atas adalah
 Objek gugatan : 1. Surat Keputusan Walikota Jambi Nomor : 648/137/5/JTG-2001 tanggal 20 Maret 2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan/Mengubah Bangunan yang diterbitkan oleh Tergugat I.
 Diketahui oleh Penggugat pada bulan April 2010 (Duduk perkara, Point ke-11).
2. Surat Nomor : 640/296/Distarum/2010 Tanggal 5 Agustus 2010, Perihal Permohonan Pembatalan Izin Mendirikan Bangunan an.ADEK yang diterbitkan oleh Tergugat II.
 Tanggal pengajuan gugatan : 13 September 2010
Maka dari perbandingan di atas, dapat terlihat bahwa surat gugatan di atas belum habis tenggang waktu pengajuannya atau belum daluwarsa.
9. Apakah pada contoh surat gugatan di atas mencantumkan tanda tangan penggugat?
 Dikarenakan pada surat gugatan di atas pihak Penggugat memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya dalam mengajukan atau membuat surat gugatan, Maka penandatanganan pada surat gugatan tersebut dilakukan oleh kuasa hukumnya.
Karena kuasa Penggugat lebih dari satu orang dan atas dasar Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Tanggal 24 Maret 1992 No. 051/Td.TUN/III/1992, Maka semua kuasa yang disebut dalam surat gugatan tersebut harus turut serta menandatangani surat gugatan tersebut.
Pada contoh surat gugatan di atas, penandatanganan surat gugatan dapat dilihat pada halaman terakhir gugatan, ialah ditandatangani oleh Adi saputra, SH dan Siti hatijah, SH.


Syarat-Syarat Materil

Objek gugatan
1. Apakah objek gugatan dari contoh surat gugatan di atas?
 Yang menjadi objek gugatan dari gugatan di atas adalah:
a. Surat Keputusan Walikota Jambi Nomor : 648/137/5/JTG-2001 tanggal 20 Maret 2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan/Mengubah Bangunan yang diterbitkan oleh Tergugat I.
b. Surat Nomor : 640/296/Distarum/2010 Tanggal 5 Agustus 2010, Perihal Permohonan Pembatalan Izin Mendirikan Bangunan an.ADEK yang diterbitkan oleh Tergugat II.
2. Kenapa objek gugatan pada contoh surat gugatan di atas dapat dikatakan sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara?
 Karena objek gugatan pada contoh surat gugatan tersebut merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Jika akibat hukumnya tersebut merugikan kepentingan seseorang atau badan hukum perdata, Maka oleh karena itulah dapat di gugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
Selain itu, objek gugatan pada contoh surat gugatan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara, karena keputusan tersebut tidak termasuk ke dalam pengecualian yang bukan termasuk ke dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1986, seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Dasar gugatan / Posita
1. Apakah yang menjadi dasar gugatan dari Penggugat untuk menggugat tergugat dalam mengajukan gugatan tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara?
 Bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986, bahwa alasan-alasan penggugat untuk menggugat adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada contoh surat gugatan di atas, keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, lebih mengarah kepada aspek formal atau prosedur yang tidak sesuai, dimana hal itu dapat kita lihat pada penjabaran tentang duduk perkara-point ke 14, yang menyebutka bahwasanya di dalam proses penerbitan keputusan tersebut Penggugat sebagai pemilik sah Tanah Sertifikat Hak Milik No.1868 Sei.Asam sama sekali tidak pernah dilibatkan oleh Tergugat I dan II. Pihak Tergugat tidak pernah langsung melakukan pengecekan langsung ke lapangan untuk memastikan apakah benar permohonan IMB yang di ajukan berdasarkan permohonan ADEK sudah sesuai dan benar atau belum. Seharusnya Tergugat meneliti terlebih dahulu atas suatu permohonan penerbitan IMB yang diajukan oleh ADEK,Karena bangunan yang didirikan tersebut bukan di atas tanah hak milik ADEK.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pada contoh surat gugatan di atas, hal ini dapat dilihat atau dibuktikan pada penjabaran tentang duduk perkara-point ke 22, yaitu dimana Tergugat II tidak mengabulkan permohonan Penggugat Perihal Permohonan Pembatalan Izin Mendirikan Bangunan an.ADEK, karena tanah tempat ADEK mendirikan bangunan tersebut sahnya adalah milik Penggugat.
Sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas-asa umum pemerintahan yang baik, yaitu
 Asas kepastian hukum
 Asas motivasi
 Asas bertindak cermat: Pada contoh surat gugatan di atas, terbukti bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak bertindak cermat, yaitu kurang pertimbangankan masak-masak semua kepentingan terkait. Seperti di dalam proses penerbitan keputusan, Tergugat I maupun Tergugat II tidak pernah melibatkan tergugat sebagai pemilik sah tanah, dan ketika proses penerbitan izin mendirikan bangunan, Tergugat I melalui Tergugat II tidak pernah melakukan pengecekan langsung ke lapangan. Itu semua terjadi karena kurang cermatnya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
2. Pada Posita biasanya terdiri atas kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dan fakta hukum. Bagaimanakah uraian singkat mengenai kejadian/peristiwa yang merupakan duduk perkara gugatan yang tertuju kepada dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh tergugat pada contoh surat gugatan di atas?
 Pada dasarnya Penggugat (Mardiana) adalah pemilik sebidang tanah, dengan Nomor sertifikat seperti yang tercantum di dalam surat gugatan tersebut. Akan tetapi anak pertama Penggugat yang bernama Adek, tanpa sepengetahuan Penggugat mengurus Izin Mendirikan Bangunan atas nama Adek, bukan atas nama Penggugat sebagai pemilik tanah yang sah, yang pada akhirnya membuat Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang terkaitpun mengabulkan izin mendirikan bangunan yang diurus oleh Adek dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, seperti yang dicantumkan pada objek gugatan tersebut.
3. Apakah fakta hukum yang terjadi pada Posita di contoh surat gugatan di atas?
 Fakta hukum yang terjadi pada perkara gugatan di atas adalah bahwa atas dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, seperti yang tercantum pada objek gugatan, menyebabkan status hukum Penggugat sebagai pemilik tanah yang sah menjadi hilang, sehingga ini merugikan Penggugat.
Petitum
 Pada contoh surat gugatan di atas, Apakah yang menjadi tuntutan Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim terhadap perkara gugatan tersebut?
 Pada contoh surat gugatan di atas, yang menjadi tuntutan penggugat adalah:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
b. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Walikota Jambi Nomor : 648/137/5/JTG-2001 tanggal 20 Maret 2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan/Mengubah Bangunan yang diterbitkan oleh Tergugat I
c. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Nomor : 640/296/Distarum/2010 tanggal 5 Agustus 2010, Perihal Pembatalan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) an.ADEK yang diterbitkan oleh Tergugat II
d. Memerintahkan kepada Tergugat I untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Walikota Jambi Nomor : 648/137/5/JTG-2001 tanggal 20 Maret 2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan/Mengubah Bangunan
e. Memerintahkan kepada Tergugat II untuk mencabut Surat Nomor : 640/296/Distrum/2010 tanggal 5 Agustus 2010, Perihal Pembatalan Izin Mendirikan Bangunan(IMB) an. ADEK
f. Membebankan seluruh biaya perkara kepada Para Tergugat.


KESIMPULAN

Dari analisis diatas, kita dapat mengetahui apa-apa saja yang menjadi syarat-syarat formil dan materil dari suatu gugatan. Syarat formil gugatan terdiri atas identitas(Penggugat/kuasa dan Tergugat),pemberian tanggal, tenggang waktu, dan tanda tangan. Sedangkan syarat materil gugatan adalah harus adanya objek gugatan, dasar gugatan, dan Petitum.
Dengan adanya anilisis syarat-syarat formil dan materil terhadap contoh surat gugatan di atas, Maka kita dapat mengetahui apakah surat gugatan tersebut sudah memenuhi syarat-syarat formil dan materil dari gugatan atau belum. Menurut penulis,dari analisis tersebut, secara garis besar contoh surat gugatan di atas sudah memenuhi semua syarat-syarat suatu gugatan, baik formil maupun materil. Oleh karena itu Surat gugatan tersebut dapat diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara.


DAFTAR PUSTAKA Disembunyikan

Jumat, 01 Juni 2012

KEPEMILIKAN WARGA NEGARA ASING TERHADAP HAK ATAS TANAH DI INDONESIA (Analisis Artikel)




NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..

        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta







ARTIKEL  I

 

 

Penguasaan Tanah oleh WNA

By : Maria SW Sumardjono

Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia masih
memerlukan kejelasan dalam rangka penyusunan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, dalam PP tersebut terdapat kerancuan pemahaman dan inkonsistensi yang perlu diluruskan.
Pasal 2 angka 1 huruf b menyebutkan bahwa : WNA dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan (pasal 3 dan 4).
Penjelasan pasal 2 angka 1 huruf b yang mendasarkan pada pasal 6 UU
No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman menyatakan bahwa
penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan karena
sifatnya berpangkal pada persetujuan dengan pemegang hak atas tanah,
maka perjanjiannya dapat dibuat di atas tanah Hak Milik (HM) dan Hak
Guna Bangunan (HGB).

Hak Sewa atas Bangunan
PP No. 41 tahun 1996 berbicara tentang pemilikan rumah tinggal/hunian
(bangunan) oleh WNA dengan cara penguasaan (hak atas) tanahnya, baik
atas Tanah Negara atau melalui perjanjian dengan pemegang hak atas
tanah, dan apabila melalui perjanjian harus dalam bentuk akta PPAT
(karena obyek perjanjian adalah pemberian hak baru atas tanah) dan
wajib didaftarkan.
Sebelum PP No. 41/1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP No. 41/1996 (lihat PP No. 44/1994).
Karena obyek perjanjiannya adalah bangunan, maka hak sewa atas
bangunan dapat dibuat terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah HM,
HGB, HP, dan HSUB.
WNA yang berkedudukan di Indonesia dapat menguasai tanah dengan HP
atau HSUB dan memiliki bangunan yang didirikan di atasnya. Menurut
pasal 44 UUPA, seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa. Dalam pengertian HSUB, pemilik tanah menyerahkan tanah
yang disewa oleh seorang/suatu badan hukum itu dalam keadaan kosong
untuk kemudian si penyewa mendirikan bangunan yang secara yuridis juga
dimiliknya.
HP yang dapat dikuasai oleh WNA dapat terjadi di atas tanah Negara,
tanah Hak Pengelolaan (HPL), dan tanah HM, tetapi HSUB yang mirip HP
dengan kekhususan tertentu hanya dapat terjadi di atas tanah HM.
Sesuai dengan konsepsi hukum tanah nasional, hanya HM yang dapat
menjadi induk hak atas tanah yang lain, karena dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, HM bersifat turun temurun yang juga merupakan
hak terkuat dan terpenuh, sehingga mempunyai kualifikasi dapat menjadi
dasar/induk untuk pemberian hak atas tanah lain, yakni HGB, HP, dan
HSUB.
Terjadinya HP atas tanah HM sudah diatur dalam PP No. 40/1996 tentang
HGU, HGB, dan HP atas Tanah, sedangkan mengenai terjadinya HSUB atas
tanah HM belum diatur. Apabila di masa yang akan datang hal ini akan
diatur, maka analog dengan HP atas tanah HM, maka perjanjian pemberian
HSUB atas tanah HM harus dibuat akta PPAT dan wajib didaftar.

Pasal 2 angka 1 huruf b mengatur tentang pemilikan rumah tinggal
melalui penguasaan tanah (pemberian hak baru atas tanah) berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya yang dapat dilakukan di
atas tanah HM.

Penguasaan Hak Pakai atas Tanah Negara(HPTN) oleh WNA berakhir apabila yang bersangkutan tidak
memenuhi syarat lagi sebagai pemegang HPTN dan tidak
melepaskan/mengalih kan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain
yang memenuhi syarat. Seyogianya ditegaskan bahwa rumah dan tanahnya
tersebut dikuasai oleh Negara, dan Negara tidak perlu melelang rumah
dan tanah tersebut dan menyerahkan hasil penjualannya kepada WNA
setelah dikurangi biaya lelang dan ongkos lain seperti yang disebutkan
dalam pasal 6 ayat 2 huruf a. Hal ini tidak sinkron dengan pasal 57 PP
No. 40/1996 yang menyebutkan, bahwa dalam situasi yang sama bekas
pemegang HPTN wajib menyerahkan tanah dalam keadaan kosong kepada
Negara dengan cara membongkar sendiri bangunan dan benda yang ada di
atasnya atau dibongkar oleh negara atas biaya bekas pemegang hak.
Kecuali, apabila bangunan dan benda tersebut masih diperlukan, Negara
akan memberikan ganti kerugian.

Ketentuan apa pun yang dibuat, seyogianya memperhatikan konsepsi yang
mendasari dan sinkron dengan peraturan lain yang terkait, baik secara
horisontal maupun vertikal.

Tanggal Akses : 5 Januari 2012




ARTIKEL  II


Status Kepemilikan Hak atas Tanah di Indonesia bagi Perkawinan Antara WNI dengan WNA
By : Dini Lastari Siburian, SH


Post at : 25 November
Banyak pertanyaan bermunculan bagaimanakah status kepemilikan hak atas tanah/property di Indonesia apabila seorang WNI menikah dengan WNA? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu dipertanyakan kembali kepada pasangan berbeda kewarganegaraan tersebut, apakah mereka menikah dengan Perjanjian Kawin (Pre-Marital Agreement) atau tanpa perjanjian tersebut? Apabila mereka memakai Perjanjian Kawin maka tidak ada percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing. Sebaliknya, apabila pasangan perkawinan campuran tersebut tidak memiliki Perjanjian Kawin maka harta yang dimiliki selama perkawinan menjadi harta bersama pasangan tersebut, dengan kata lain pihak WNA ikut memiliki setengah dari tanah tersebut. Sehingga WNI yang menikah dengan WNA (tanpa Perjanjian Kawin) dipaksa untuk tunduk pada ketentuan peraturan yang diperuntukkan bagi orang asing.
Berdasarkan pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 :
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”
Sehingga berdasarkan peraturan tersebut di atas, WNI harus melepaskan hak atas tanah itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dia menikah dengan WNA tersebut.
Berdasarkan Pasal 21 (ayat 3) UUPA dan dengan adanya percampuran harta akibat perkawinan, bagi WNI dalam perkawinan campuran, syarat utama untuk mendapat hak kepemilikan atas tanah adalah Warga Negara Indonesia tunggal (tidak berkewarganegaraan ganda) dan memegang perjanjian kawin.
Berdasarkan Pasal 42 dan 45 UUPA dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah, WNA dapat memiliki Hak Pakai dan Hak Sewa saja. Sehingga WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin otomatis digolongkan sebagai subyek hukum yang hanya berhak untuk mendapatkan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Berdasarkan Pasal 45 PP 40/1996 Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah dengan status tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Jangka waktu Hak Pakai adalah 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
Melihat praktek hukum akibat diterbitkannya peraturan-peraturan tersebut di atas, mengakibatkan tidak sedikit penyelundupan hukum yang terjadi di Indonesia. Beberapa kasus yang banyak mencuat adalah WNI yang melangsungkan pernikahannya dengan WNA di luar negeri sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di Indonesia sehingga WNI ini tercatat belum menikah dalam hukum Indonesia dan otomatis dapat membeli hak atas tanah dan property di Indonesia. Cara lain lagi yaitu dengan memakai Nominee yaitu suatu perjanjian antara pemilik tanah yang sebenarnya dengan seorang yang dipakai namanya untuk tertera pada sertifikat tanah, misalnya A adalah WNI yang menikah dengan WNA dan B adalah WNI biasa. Perjanjian Nominee ini dibuat oleh A dan B dimana di dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa pemilik tanah sebenarnya adalah A namun yang tertera di sertifikat tanah adalah B, sehingga dengan demikian A dapat terus menikmati tanah yang dibelinya, dia merasa “aman” karena sertifikat hak atas tanah tertera nama B.
Melihat beberapa penyelundupan hukum yang terjadi tersebut, seberapa jauh pemerintah Indonesia atau Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat menyelidiki apakah seseorang yang mau membeli hak atas tanah/properti menikah dengan orang asing atau bukan. Bagaimana pula pemerintah menyikapi hal ini?
Kata penutup adalah sangat disarankan agar apabila seorang WNI tetap ingin dapat memiliki hak atas kepemilikan tanah setelah menikah dengan WNA, maka sebelum menikah mereka menanda-tangani Perjanjian Kawin dihadapan Notaris di Indonesia dan Perjanjian Kawin tersebut dicatatkan di KUA pada Surat Nikah bagi yang beragama Islam atau pada kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain agama Islam. Dengan Perjanjian Kawin ini maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing jadi tidak menjadi masalah apabila WNI membeli dan memiliki hak atas tanah dan bangunan di Indonesia.
WNI yang sudah terlanjur menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin, sebaiknya tanah yang dimiliki di Indonesia segera dipindahtangankan dengan cara dijual atau dihibahkan kepada orang tua, anak, saudara kandung atau kerabat sebelum diketahui oleh pemerintah yang dapat menyebabkan hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh kepada Negara tanpa ganti rugi sesuai dengan peraturan Pasal 21 (ayat 3) UUPA di atas.

Tanggal Akses : 5 Januari 2012




ARTIKEL III

Status Kepemilikan Tanah untuk Orang Asing yang Telah Menjadi WNI

Bagaimana status hukum apabila orang asing yang telah menjadi WNI, namun pasangannya masih WNA, sedangkan pernikahan mereka dahulu dilakukan di negara asal, dan belum didaftarkan di Indonesia? Dapatkah pasangan yang telah menjadi WNI memiliki harta berupa tanah? Apabila dapat, langkah-langkah apa yang harus ditempuh dan syarat apa saja yang harus dipenuhi?
Sebelumnya yang perlu kita pahami bahwa terdapat berbagai macam hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seorang individu di Indonesia. Menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Agraria”), jenis-jenisnya adalah:

1)     Hak Milik, yaitu hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (pasal 20 ayat [1] UU Agraria). Hak Milik ini hanya boleh dipegang oleh seorang warganegara Indonesia (pasal 21 ayat [1] UU Agraria), ataupun oleh badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 ayat [2] UU Agraria)
2)     Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UU Agraria, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (pasal 28 ayat [1] UU Agraria). Hak Guna usaha ini hanya boleh dipegang oleh warganegara Indonesia ataupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 30 ayat [1] UU Agraria)
3)     Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (pasal 35 ayat 1 UU Agraria). Hak Guna Bangunan hanya boleh dipegang oleh warganegara Indonesia ataupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 36 ayat [1] UU Agraria)
4)     Hak Pakai, adalah adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang (pasal 41 ayat [1] UU Agraria). Yang boleh menjadi pemegangnya adalah warga negara Indonesia (“WNI”), orang asing (warga negara asing/”WNA”) yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (pasal 42 UU Agraria)

Dalam masalah yang Anda uraikan, perkawinan pasangan tersebut merupakan perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan/”UU Perkawinan”). Dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam pasal 35 UU Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini, dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha.Akan tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan, dengan catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan sebelum menikah, yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak tersebut adalah menjadi milik masing-masing.Yang harus diingat, perjanjian perkawinan untuk memisahkan harta tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan. Ini sesuai dengan definisi perjanjian perkawinan dalam pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, yaitu:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”

Apabila pelaku perkawinan campuran tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelum perkawinan, maka mereka tidak dapat memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan. Akan tetapi mereka bisa menjadi pemegang Hak Pakai. Sebagaimana dijelaskan di atas, Hak Pakai dapat dipegang oleh seorang WNA, sehingga tidak ada masalah walaupun sang pasangan masih berstatus WNA.
 Perkawinan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia harus dilaporkan kepada  Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun(pasal 73 Perpres No. 25/2008). Namun, apabila jangka waktu satu tahun ini terlewati, pencatatan perkawinan masih bisa dilakukan melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang bersangkutan, dan dengan dikenai denda administratif sesuai pasal 107 Perpres No. 25/2008.

Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
  2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

Tanggal Akses : 5 Januari 2012





ANALISIS


Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, menyebutkan bahwa “ Hanya Warga Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Pasal tersebut menyiratkan makna bahwasanya erat sekali hubungan bangsa Indonesia dengan segala sesuatu yang ada di wilayah kekuasaan Negara Indonesia. Oleh karena itu seorang WNA ataupun seorang yang berkewarganegaraan rangkap tidak memiliki hak atas tanah hak milik, seperti yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960, bahwa  “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak milik”.
Pasal 24 ayat 4 UUPA menentukan, bahwa selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, maaka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak milik. Ini berarti, bahwa Ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing. Maka pasal di atas, menekankan bahwa yang boleh mempunya tanah dengan Hak milik itu hanyalah warga Negara Indonesia tunggal saja.
Biarpun pada azasnya hanya orang-orang warga Negara Indonesia saja yang dapat memiliki dan menguasai tanah di Indonesia, akan tetapi dalam hal-hal tertentu selama waktu yang terbatas, Undang-Undang Pokok Agraria masih memberikan kesempatan orang-orang asing dan warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan Hak milik.
Pada artikel I, menyebutkan bahwasanya berdasarkan Pasal 2 angka 1 huruf b PP No. 41 Tahun 1996 menyatakan, bahwa seorang WNA dapat memiliki rumah yang berdiri sendiri di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. Jadi, makna yang terdapat pada pasal tersebut ialah bahwa penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan dibolehkan saja bagi seorang WNA. Namun, tetap berpatokan pada adanya persetujuan dari pemegang Hak atas tanah.
Begitu juga halnya dengan Hak pakai, WNA diberikan Hak Pakai atas suatu tanah, seperti yang telah diatur dalam Pasal 42 UUPA, bahwasanya orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai hak milik, selain itu Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesiapun juga dapat memiliki Hak Pakai atas suatu tanah.
Seorang warga Negara asingpun juga dapat memiliki Hak Sewa untuk Bangunan atas tanah, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Pokok Agraria.
Walaupun Hak Milik secara langsung tidak dapat dimiliki oleh seorang WNA, seperti yang tercantum pada pasal sebelumnya, namun Hak Milik dapat menjadi Induk terhadap berbagai hak-hak atas tanah lainnya, seperti kenyataan yang kita temui adanya Hak Pakai atas tanah Hak Milik, tapi dengan luas yang terbatas.
Pada Ketentuan Peralihan BAB IV Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa:
 “ Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV, dan V dijadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun “
Maka oleh karena itu hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh Warga Negara Asing berupa Hak guna usaha dan Hak guna bangunan hanya dapat digunakan untuk sementara waktu tertentu yang telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-undang maupun Peraturan pemerintah.
Pada artikel II dan III, disana lebih membahas mengenai status kepemilikan atas suatu tanah yang mengarah kepada seseorang yang berkewarganegaraan WNI dan/atau WNA dengan pasangannya seorang WNI dan/atau WNA dalam suatu ikatan perkawinan.
Berdasarkan Pasal  21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, bahwa “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan – tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesuadah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung “.
Maka berdasarkan aturan dalam pasal UUPA tersebut di atas, seorang WNI harus melepaskan haknya atas tanah dalam jangka waktu satu tahun sejak Ia menikah dengan seorang WNA tersebut.
Jika sebelum seorang WNI menikah dengan seorang WNA melakukan Perjanjian kawin, maka tidak akan ada pencampuran harta, sehingga harta dimiliki oleh masing-masing pihak akan menjadi milik mereka masing-masing. Tapi jika tidak melakukan Perjanjian kawin, maka harta yang dimiliki selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan kata lain pihak WNA terhadap hak atas tanah menjadi pemilik setengah dari tanah tersebut.
Selanjutnya, persoalan yang mempengaruhi hak WNA atas tanah di Indonesia ialah ketika mereka dihadapkan pada suatu kenyataan yang terjadi, yaitu disaat orang asing telah menjadi WNI, namun pasangannya masih WNA, dimana pernikahannya dilakukan di Negara asal ( di luar Indonesia ), sehingga ini dapat dikatakan suatu perkawinan campuran.
Maka berdasarkan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal perkawinan campuran tersebut, orang asing yang telah menjadi WNI tersebut tetap tidak dapat memiliki hak atas tanah Hak Milik, hak guna usaha, ataupun hak guna bangunan. Hal ini karena sesuai dengan pemaparan sebelumnya dan sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan, bahwa “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama “.
Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang juga mengatur tentang pemindahan hak atas tanah terhadap orang asing, yaitu suatu jual beli hak atas tanah kepada orang asing adalah batal karena hukum dan tanahnya akan jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak lain yang diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Hal ini secara jelas telah diatur dalam pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan, bahwa:
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2) adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali “.

Dalam kaitannya pemindahan hak atas tanah, maka di sini fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan yang utama, walaupun kita tahu tentang pemindahan hak atas tanah kepada orang asing yang tidak berhak, dapat saja dilakukan dengan Kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali. Maka di sinilah perlunya kejelian Pejabat Pembuat Akta Tanah.


KESIMPULAN ANALISIS


Berdasarkan analisis ke Tiga Artikel mengenai hak atas tanah oleh Warga Negara Asing di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Warga Negara Asing tidak memiliki hak atas tanah Hak Milik karena telah diatur oleh Undang-Undang.
2.      Warga Negara Asing dapat memiliki hak atas tanah, dengan syarat memenuhi segala ketentuan kepemilikan terhadap hak atas tanah yang ada, seperti Warga Negara Asing memiliki Hak Pakai atas tanah, Hak sewa untuk bangunan.
3.      Seorang Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing, yang menimbulkan suatu status perkawinan campuran. Maka WNI tersebut tidak memiliki hak atas harta yang ada di Indonesia (seperti tanah ).
4.      Warga Negara Asing dapat menggunakan atau memanfaatkan tanah yang telah diperuntukkan bagi Warga Negara Asing di Indonesia, namun dengan luas yang terbatas dan dalam waktu yang tidak lama (sementara).

BEA MATERAI







NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..

        Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!

@hak cipta






-->
Di Indonesia, mengenai pembagian pengelolaan pajak terdiri atas Pajak Pusat dan Pajak daerah. Di sini akan lebih membicarakan mengenai pengelolaan pajak di pusat, khususnya pajak Bea Materai. Namun, sebelumnya tentu kita harus tahu dahulu mengenai pajak itu sendiri. Pajak adalah iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-undang dan tidak mendapatkan kontra prestasi secara langsung.
Pajak pusat ditetapkan oleh pemerintah pusat yang merupakan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat itu sendiri, dimana pajak ini berlaku bagi wajib pajak di Negara Indonesia. Diantara yang termasuk kedalam pajak pusat ini salah satunya adalah BEA MATERAI.

DEFENISI BEA MATERAI
Bea Materai adalah pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-Undang Bea Materai menjadi objek Bea Materai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Materai tersebut harus sudah dibubuhi benda Materai atau pelunasan Bea Materai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen tersebut digunakan.

DASAR HUKUM
Pengaturan mengenai Bea Materai yang berlaku di Indonesia sekarang terdapat pada :
  • UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.
  • PP No. 24 Tahun 2000 Tentangperubahan tarif  Bea Materai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Materai.
*Sejarah singkat terbentuknya peraturan mengenai Bea Materai*
Pengenaan Bea Materai di Indonesia sudah mulai dikenal sejak tahun 1817, yaitu pada masa penjajahan Belanda, yang disebut De Hetting Van Het Recht Kleinnegel. Tahun 1885 aturan pengenaan Bea Materai di atas tersebut diganti dengan Ordonantie Op De Heffing Van Het Legel Recht In Nederhlands Indie dan berlaku sampai tahun 1921.
Sejak tahun 1921, berlaku aturan Bea Materai 1921 (Zegel Verordening 1921), yang mengalami beberapa perubahan, yaitu menjadi UU No. 2 Tahun 1965, dan kemudian ditetapkan menjadi UU No. 7 Tahun 1969. Dimana Undang-undang ini sifatnya perubahan atau penyempurnaan dari aturan Bea Materai 1921. Selanjutnya, sejak pemerintahan Orde Baru tahun 1966 banyak kebijakan-kebijakan baru / dilakukannya reformasi di bidang perpajakan, yaitu dengan dibentuknya beberapa Undang-undang pajak pada umumnya, diantaranya ialah Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, yang merupakan pengganti dari aturan Bea Materai tahun 1921. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 disahkan & diundangkan di Jakarta pada Tanggal 27 Desember 1985 dan dinyatakan mulai berlaku Tanggal 1 Januari 1986. Latar belakang perlu dibentuknya Undang-undang ini ialah sesuai dengan yang terdapat pada konsideran UU No. 13 Tahun 1985 itu sendiri.
Akibat perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin maju & kompleks, pemerintah kemudian mengatur lebih jauh mengenai tarif Bea Materai. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 13 Tahun 1985. Berdasarkan pasal tersebut, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun1995 Tentang Perubahan tarif Bea Materai, yang mana PP tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Bea Materai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Matera, yang masih berlaku sampai sekarang.

OBJEK BEA MATERAI
Objek dari Bea Materai adalah Dokumen, yaitu kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.
  • Dokumen yang dikenakan Bea Materai
Pada umumnya dokumen yang harus dikenakan materai adalah dokumen yang menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 13 Tahun 1985 dokumen yang dikenakan Bea Materai antara lain adalah :

3.      Akta-akta yang di buat PPAT beserta rangkapnya.
4.      Surat berharga seperti wesel, promes, cek dengan nominal di atas Rp. 1000.000
5.      Surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
a.       Yang menyebutkan penerimaan uang
b.      Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
c.       Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d.      Yang berisi pengakuan bahwa uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

·        Dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai
Pada umumnya dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara. Berdasarkan pasal 4 UU No. 13 Tahun 1985 dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai antara lain adalah :
1.      Dokumen yang berupa :
a.       Surat penyimpanan barang
b.      Konosemen
c.       Surat angkutan penumpang dan barang
d.      Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang
e.       Bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
f.        Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g.       Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
2.      Segala bentuk Ijazah.
3.      Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4.      Tanda bukti penerimaan uang Negara dan kas Negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5.      Kwitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas Negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6.      Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7.      Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8.      Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
9.      Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan efek, dengan nama dan bentuk apapun.

TARIF BEA MATERAI
  1. Tarif Bea Materai Rp. 6000 untuk dokumen :
a.       Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b.      Akta-akta notaries termasuk salinannya.
c.       Surat berharga seperti wesel, promes, cek.
d.      Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.
  1. Untuk dokumen huruf d dan e pada Pasal 2 UU No 13 Tahun 1985 dikenakan:
a.       Nominal sampi Rp. 250.000 Tidak dikenakan Bea Materai
b.      Nominal antara Rp. 250.000 sampai Rp. 1000.000 dikenakan Bea Materai Rp. 3000
c.       Nominal di atas Rp. 1000.000 dikenakan Bea Materai Rp. 6000
  1. Cek dan Bilyet giro dikenakan Bea Materai dengan tariff sebesar Rp. 3000 tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal (Pasal 3 PP 24 Tahun 2000 ).
  2. Efek dengan nama  dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1000.000 dikenakan Bea Materai Rp. 6000
  3. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp. 1000.000 dikenakan Bea Materai Rp. 3000, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1000.000 dikenakan Bea Materai dengan tariff sebesar Rp.6000.

SUBJEK BEA MATERAI
Subjek Bea Materai adalah pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

JENIS-JENIS PEMATERAIAN
  1. Materai tempel
  2. Kertas materai
  3. Materai dengan mesin teraan
  4. Materai dengan teknologi percetakan
  5. Materai dengan sistem komputerisasi.


PEMENUHAN DALAM BEA MATERAI
  1. Berdasarkan Pasal 5 UU No 13 Tahun 1985 Saat terutang Bea Materai adalah ditentukan dalam hal-hal :
Ø      Dokumen yang dibuat 1 pihak, adalah pada saat dokumen diserahkan.
Ø      Dokumen yang dibuat lebih dari 1 pihak, adalah pada saat dokumen selesai dibuat.
Ø      Dokumen yang dibuat di Luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.
  1. Pemateraian kemudian
Ø      Merupakan cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi sebagaimana mestinya
Ø      Dokumen-dokumen yang semula tidak dikenakan Bea Materai, apabila akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan dikenakan materai Rp. 6000 dengan cara pemateraian kemudian.
  1. Cara pelunasan Bea Materai :
Ø      Menggunakan benda materai, yaitu dapat dengan merekatan materai temple di tempat dimana tanda tangan dibubuhkan pada dokumen yang dikenakan Bea Materai.
Ø      Menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

SANKSI
1.      Sanksi denda
Pelunasan Bea Materai terhadap konsumen yang besarnya Bea Materainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Materai yang tidak atau kurang dibayar, yang harus dilunasi oleh pemegang dokumen dengan cara pemateraian kemudian.
2.      Sanksi administrasi
Sanksi administrasi dikenakan kepada Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera, Jurusita, Notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya melakukan hal-hal:
a.       Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
b.      Melekatkan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
c.       Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
d.      Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Materainya.
3.      Sanksi pidana
Berdasarkan Pasal 14 UU No. 13 Tahun 1985, bahwa Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelunasan Bea Materai tanpa izin menteri keuangan, yang akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun.
Pada Pasal 13 UU No. 13 Tahun 1985 juga mengatur bahwa sanksi pidana dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran yang memenuhi ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,yaitu:
a.       Barangsiapa meniru atau memalsukan Materai tempel dan kertas materai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan materai.
b.      Barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau dimasukkan ke Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak.
c.       Barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia materai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktu mempergunakannya telah dihilangkan seolah-olah materai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak.
d.      Barangsiapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahui digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda matera.

DAFTAR PUSTAKA Disembunyikan