Selasa, 30 Juli 2013

"PENTINGNYA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DI NEGARA Ber - Bhinneka Tunggal Ika INI "



Pelayanan Terhadap Korban Kejahatan Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
By : Anneka Saldian Mardhiah



NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi berbagai bentuk kejahatanpun semakin meningkat terjadi di lingkungan masyarakat. Korban dari kejahatan itu sendiri selain selain orang dewasa tidak jarang anak kecilpun ikut menjadi korban kejahatan.
Korban kejahatan adalah mereka atau seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana/kejahatan. Namun, yang sering menjadi permasalahannya adalah bahwa dimana masih banyak kasus kejahatan yang mungkin tidak pernah tersentuh proses hukum untuk diproses di persidangan, salah satu faktornya adalah tidak adanya satupun saksi, korban dan/atau pelapor yang berani mengungkapkan kesaksiannya, sementara alat bukti yang didapat oleh penyidik sangat kurang memadai, sehingga penyidikpun tidak bisa  memproses lebih lanjut suatu perkara pidana.
Berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima korban menjadi alasan utama yang membuat nyali korban maupun saksi kejahatan menciut untuk terlibat dan memberikan kesaksiannya atas suatu tindak pidana, bahkan tidak jarang orang yang melaporkan suatu tindak pidana justru dilaporkan kembali telah melakukan pencemaran nama baik orang yang dilaporkan melakukan kejahatan.

Sabtu, 27 April 2013

SUDAH MAKSIMALKAH PERLINDUNGAN ITU???

 
ANALISIS
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
By : Anneka Saldian Mardhiah

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Sebagai upaya agar diberikannya perlindungan bagi saksi dan korban yaitu segala upaya dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka dibentuklah dan disahkanlah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, seiring dengan diberlakukannya undang-undang tersebut di dalam masyarakat, ternyata masih ada kekurangan-kekurangan atau kelemahan dari beberapa rumusan pasal dalam undang-undang tersebut, diantaranya adalah :

1.      Pasal 5 ayat (1) huruf a
Seorang saksi dan korban berhak ; memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya
Hak asasi adalah hak yang bersifat universal yang melekat pada setiap orang tanpa terkecuali mulai

Kamis, 25 April 2013

HUKUM PIDANA MILITER



"PENEGAKAN HUKUM PIDANA MILITER"

Sumber : "Mbah Google

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

BAB I
PENDAHULUAN
 
Latar Belakang
Pengertian militer berasal dari bahasa Yunani “ Milies “ yang berarti seseorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan. [1]
Dilihat pada pertumbuhan dan perkembangan daripada hukum militer itu sendiri, maka pada hakekatnya hukum militer itu lebih tua dari konstitusi-konstitusi Negara-negara yang tertua di dunia ini. Karena militer sebagai orang yang siap untuk bertempur untuk mempertahankan negeri atau kelompoknya sudah ada sejak zaman dahulu sebelum adanya konstitusi-konstitusi tersebut.
Hukum Pidan Militer berkembang berdasarkan kebutuhan karena sesuai dengan situasi dan kondisi. Hukum militer merupakan suatu hukum yang khusus karena terletak pada sifatnya yang keras, cepat, dan prosedur-prosedurnya yang berbeda dengan prosedur-prosedur yang berlaku dalam hukum yang umum.
Hukum pidana militer merupakan suatu aturan hukum yang diberlakukan khusus untuk orang-orang yang berada dibawah nama besar “Tentara Nasional Indonesia”, yaitu hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan militer terhadap kaidah-kaidah hukum militer oleh seorang militer, dimana kejahatan militer itu sendiri dapat terdiri atas kejahatan militer biasa dan kejahatan perang.
Kejahatan militer biasa (military crime) yaitu perbuatan seseorang militer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum militer yang diberi sanksi pidana, misalnya melakukan desersi atau melarikan diri seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana MIliter. Sedangkan yang dimaksud dengan Kejahatan perang (war crime) yaitu perbuatan seseorang militer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah sebagai yang terdapat dalam konvensi-konvensi internasional. [2]
Militer adalah orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Oleh arena itulah  bagi mereka (militer) diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus, dimana mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang pelaksanaannya di awasi dengan ketat dan norma-norma/kaidah-kaidah khusus itulah yang terdapat di dalam hukum pidana militer yang dituangkan kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer.
Untuk mengurangi dan menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan militer sebagaiamana yang disebutkan sebelumnya , maka oleh setiap militer semenjak ia dinyatakan diterima masuk militer seharusnya sudah tahu benar dan memahami semua kewajiban-kewajiban hukumnya yang pokok maupun yang bersifat esensial.
Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia merupakan negara hukum”. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya hukummemiliki peranan yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia. Maka selain adanya hukum yang bersifat umum, di indonesia pun juga mengatur terkait hukum pidana militer. Hukum militer yang berlaku sekarang di Indonesia sebagian masih merupakan hukum yang berasal dari zaman penjajahan hindia belanda.
Di Indonesia hukum militer belum sepenuhnya mendapat perhatian dari semua kalangan masyarakat, hal ini dapat dimungkinkan karena dipengaruhi oleh eksistensi daripada penerapan hukum militer itu sendiri yang masih kurang, dimana pembahsan mengenai hukum militer itu sendiri tidak begitu secara terbuka dibicarakan dalam kehidupan masyarkat Indonesia, hal tersebut dipengaruhi paradigma masyarakat yang masih sempit bahwasanya hukum militer hanya diberlakukan di kalangan militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan hanya untuk orang-orang dikalangan militer. Padahal seharusnya masyarakat Indonesia yang berada di bawah naungan Negara hukum juga harus memberikan perhatian yang khusus terhadap hukum pidana militer.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih dalam mengenai eksistensi penegakan hukum pidana militer, khususnya di Indonesia, maka Penulis merasa tertarik untuk mengangakat perihal pembahsan dalam hukum pidana militer dalam sebuah makalah dengan judul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA MILITER”.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Penegakan Hukum Pidana Militer di Indonesia
Dr.L.J.Van Apeldoorn merumuskan bahwa hukum adalah segala peraturan-peraturan yang mengandung petunjuk-petunjuk bagaimana manusia hendaknya bertindak-tanduk, jadi peraturan-peraturan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi manusia.
Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer menyebutka bahwasanya dengan adanya hukum pidana militer bukan berarti hukum pidana umum tidak berlaku bagi militer, akan tetapi sebaliknya hukum pidana umum akan tetap berlaku selama tidak diatur dalam hukum pidana militer.
Dalam hukum pidana militer, mereka yang diberlakukan hukum militer atau hukum pidana militer adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, berbunyi :
(1)   mereka yang dalam Angkatan Perang secara sukarela membuat ikatan dinas untuk diwajibkan terus-menerus dalam dinas yang sebenarnya, selama waktu seluruhnya dari ikatan dinas itu.
(2)   Semua anggota sukarela lainnya dalam angkatan dan para militer wajib, sejauh mana atau selama mereka itu dalam dinas yang sebenarnya, demikian juga apabila mereka diluar yang sebenarnya dalam waktu mereka itu dapat dipanggil untuk dinas itu, melakukan yang diatur dalam Pasal 97, 99 dan 139 KUHP.
Penegakan hukum disegala bidang hukum harus dilakukan secara menyeluruh, baik itu hukum yang bersifat materil maupun hukum formilnya. Salah satu bidang hukum itu adalah hukum pidana militer.  Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer, yakni suatu peraturan-peraturan khusus yang hanya berlaku bagi anggota militer itu sendiri. Namun dalam artian hukum pidana yang berlaku bagi militer tidak hanya terpaku kepada hukum pidana militer, akan tetapi hukum pidana umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) akan tetap atau masih berlaku bagi militer yang dalam hal ini adalah Tentara Nasional Indonesia, yaitu berlaku selama tidak diatur di dalam undang-undang khusus (KUHPidana Militer).
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hukum sebagai pengatur kehidupan masyarakat di wilayah kaedaulatannya. Pelaksanaan penegakkan hukum dilakukan oleh badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang merupakan alat kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24 atay (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa : “ Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ”.
Sebagai negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara berkembang, kondisi penegakan hukum di Indonesia belum dapat disejajarkan dengan negara-negara maju, karena dilihat dalam praktek pelaksanaannya masih belum mencapai kepada suatu titik tertinggi dalam penegakan hukum itu sendiri, khususnya dalam hal penegakan hukum pidana militer di Indonesia. Hal tersebut disamping karena kurangnya kinerja dari pada pejabat-pejabat atau aparat penegak hukum dalam usaha menjungjung tinggi hukum sebagaimana mestinya, juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia sendiri, yaitu sangat sedikit diantara sekian banyak rakyat Indonesia yang menaruh perhatian pada hukum militer itu sendiri . hal ini disebabkan mungkin sebagian orang menganggap bahwa hukum militer itu cukup untuk diketahui oleh kalangan militer saja, padahal hakikatnya Indonesia sebagai Negara hukum rakyatnya harus memberikan perhatian khusus terkait jalannya hukum pidana militer tersebut sebagai bentuk pengawasan, karena pengawasan dari masyarakat sangat diperlukan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan penegakan hukum pidana militer itu sendiri secara menyeluruh.
Oleh karena tersebut di atas, perlu adanya perubahan paradigma atau pola berfikir masyarakat agar lebih membuka diri dalam berbagai proses yang menyangkut hukum pidana militer, terlebih lagi dalam sistem peradilan militer itu sendiri. Karena Peradilan militer, bukan hanya milik militer dan bagi kepentingan militer saja melainkan milik masyarakat secara umum dan untuk kepentingan masyarakat umum pula, kpentingan yang lebih mendasar adalah terkait perlindungan hukum bagi masyarakat luas.
Hukum militer dari suatu negara merupakan sub sistem hukum dari negara tersebut, karena militer itu adalah bagian dari suatu masyarakat atau bangsa yang melakukan tugas khusus. Melakukan tugas pembelaan negara dan bangsa, dengan menggunakan senjata atau dengan kata lain tugas utamanya adalah bertempur. [1]
Penegakan hukum pidana militer yang masih kurang di indonesia terlihat jelas dalam kejadian terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta yang baru-baru ini terjadi dan hangat diberitakan di media massa, dimana kasus tersebut menyeret para oknum Tentara Nasional Indonesia, yang pada kelanjutan kasusnya tersebut diputuskan untuk diselesaikan melalui Peradilan Militer. Proses Peradilan Militer terhadap para oknum TNI tersebut harus dilakukan secara terbuka – transparan serta harus mendapat perhatian yang khusus dari masyarakat luas agar penegakan hukum pidana militer itu sendiri dapat dilakukan sebagaiamana mestinya. Karena jika tidak diawasi dengan saksama oleh berbagai pihak maka akan berdampak kepada hukum pidana militer yang kurang ditegakkan di Indonesia.
B.     Peran Hukum Pidana Militer Dalam Menegakkan Disiplin Militer
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwasanya hukum pidana militer merupakan suatu aturan hukum yang diberlakukan khusus untuk orang-orang yang berada dibawah nama besar “Tentara Nasional Indonesia”, yaitu hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan militer terhadap kaidah-kaidah hukum militer oleh seorang militer, dimana kejahatan militer itu sendiri dapat terdiri atas kejahatan militer biasa dan kejahatan perang.
Tindak pidana militer yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu tindak pidana militer murni dan tindak pidana militer campuran. Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus militer, sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana militer campuran adalah suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya, hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain.
Dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang ber-Sapta Marga dan ber-Sumpah Prajurit sebagai Bhayangkari Negara dan bangsa, dalam bidang pertahanan keamanan Negara adalah penindak dan penyanggah awal, pengaman, pengawal, penyelamat bangsa dan Negara, serta sebagai kader, pelopor dan pelatih rakyat guna menyiapkan kekuatan pertahanan keamanan Negara dalam menghadapi setiap bentuk ancaman musuh atau lawan dari manapun datangnya. [2]
Disiplin secara umum pada dasarnya memiliki sikap ketergantungan pada kuasa orang lain atau peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan alat kekuasaan untuk memaksakan ketaatan sebagai pengendali sosial dalam tata kehidupan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. [3]
Sebagaimana yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa kebanyakan orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin, hal tersebut tentu benar, namun walaupun begitu orang-orang hendaknya juga jangan lupa bahwasanya salah satu unsur untuk menegakkan disiplin itu adalah hukum. Maka hukum itu secara tak langsung melakukan penyelenggaraan pemeliharaan terhadap disiplin militer. Artinya adalah bahwa Walaupun aturan terkait disiplin militer sudah diatur secara terpisah, namun keberadaan hukum pidana militer itu tetap sangat berpengaruh atau berperan dalam penegakan disiplin militer itu sendiri.
Hukum pidana militer berperan dalam membentuk disiplin prajurit yang mutlak harus ditegakkan demi tumbuh dan berkembangnya Angkatan Perang Republik Indonesia dalam mengemban dan mengamalkan tugas yang dipercayakan oleh bangsa dan Negara kepadanya.
Bentuk-bentuk disiplin yang harus ditegakkan dalam kehidupan ketentaraan sebagai bentuk penegakkan hukum pidana militer itu sendiri, diantaranya adalah :
1.      Menepati semua peraturan-peraturan tentara dan semua perintah kedinasan dari tiap atasan juga mengenai hal-hal yang kecil tertib, tepat sempurna, dan kesadaran tinggi.
2.      Menegakkan kehidupan dalam militer yang baru dan teratur.


BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut.
1.      Penegakan hukum pidana militer di Indonesia sampai saat sekarang ini masih belum mencapai tingkat kesempurnaannya atau dengan kata lain hukum pidana militer itu sendiri dalam pelaksanaannya belum ditegakkan secara keseluruhan, yang salah satu penyebabnya adalah karena rakyat Indonesia yang masih kurang menaruh perhatian pada hukum militer itu sendiri.
2.      Hukum pidana militer sangat berperan dalam terciptanya penegakan disiplin militer, karena salah satu unsur terpenting dalam penegakan  disiplin itu sendiri adalah hukum.
B.     Saran
Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada gunanya bagi penulis sendiri, para pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait pada khususnya. Bahwasanya hendaknya pelaksanaan dari pada hukum pidana militer itu sendiri di Indonesia harus mendapatkan perhatian yang khusus, agar penegakan hukum pidana militer yang sebagaiamana diinginkan oleh masyrakat dapat dilakukan dengan baik dan secara keseluruhan, salah satunya adalah dengan selalu dilakukannya pengawasan dalam proses peradilan militer itu sendiri.
Selain itu, menurut hemat Penulis hendaknya dilakukan revisi ulang terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang masih merupakan warisan hukum Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang di Indonesia. Perubahan tersebut hendaknya lebih memberikan atau mengarah kepada keterbukaan dalam proses peradilan daripada militer itu sendiri, dimana kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia yang melibatkan oknum-oknum Tentara Nasional Indonesia agar dapat dijadikan pengalaman dan pelajaran untuk “hukum” Indonesia yang lebih baik kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA Disembunyikan

 


Jumat, 19 April 2013

Landas Kontinen



"LANDAS KONTINEN"
 Oleh :
Anneka Saldian Mardhiah
M Zainul Arifin
Saputra

Sumber : 'Mbah Google

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pada taraf integrasi masyarakat dunia saat ini, masyarakat-masyarakat sudah terorganisir dalam suatu satuan-satuan politik yang bebas satu dari yang lainnya sebagai Negara yang berdaulat, dimana masing-masing Negara tersebut mempunyai Pemerintah sendiri, penduduk, dan wilayah. Sehingga kekuatan dari tindakan politik suatu Negara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum laut.
“Pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi tentang hukum laut tumbuh dan berkembang melalui adanya hukum kebiasaan internasional, suatu pemikiran-pemikiran yang masih sangat sederhana terkait bagaimana dengan penggunaan dan pemanfaatan laut, karena hukum internasional akan dapat menjadi hukum yang lebih efektif dan dapat diterima masyarakat internasional, apabila dapat memberi manfaat bersama untuk Negara-negara. Untuk mengamati perkembangan dan pembentukan hukum laut maka diperlukan suatu penelitian dan analisis atas kepentingan-kepentingan yang mendasari sikap-sikap Negara sebagai anggota atau bagian dari masyarakat internasional”. [1]
Negara-negara yang sedang berkembang akan berusaha melakukan penguasaan atas laut guna perluasan yurisdiksi untuk melindungi kepentingan-kepentingannya, apalagi kemajuan teknologi yang semakin maju mendorong adanya keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang akan dapat memberikan keuntungan bagi suatu negara. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan keinginan-keinginan dan mengatur kepentingan-kepentingan Negara-negara internasional agar tidak terjadi tumpang tindih antar kepentingan tersebut maka diadakanlah konvensi-konvensi hukum laut internasional, dimana terakhir telah berhasil dilaksanakannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)1982 yang telah menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III, yang diantaranya mengatur terkait batas-batas maritim meliputi batas-batas laut territorial (Territorial Sea), Zona Ekonomi Eksklusif (Economic Exclusive Zone), dan begitu juga dengan batas-batas Landas Kontinen (Continental Shelf) yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini.
Pada awalnya landas kontinen hanya memiliki pengertian geografis dan geologis saja. Secara geografis dan geologis Landas Kontinen diartikan sebagai plate-form atau daerah dasar laut yang terletak antara dasar laut dangkal dan dan titik dimana dasar laut menurun secara tajam atau terjal, yang dinamakan lereng kontinen.
Salah satu Negara yang telah mengesahkan Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut adalah Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang sudah diakui secara internasional. Negara yang terdiri dari 17.504 pulau dengan luas total wilayah 7,9 Juta Kilometer Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi daratan dan 5,8 Juta Kilometer Persegi berupa Lautan. Dengan kata lain luas wilayah laut Indonesia adalah tiga kali luas wilayah daratannya. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah Pemerintah Indonesia perlu memberikan perhatian khusus dalam hal penetuan batas-batas maritim dengan Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia,terlebih lagi yang berhubungan dengan Batas Landas Kontinen karena hal ini menyangkut pengamanan, pencadangan, dan pemanfaatan daripada sumber-sumber kekayaan mineral dasar laut dan tanah di bawahnya, seperti pengaturan batas-batas maritim Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Thailand, India, Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.

Kamis, 18 April 2013

ANALISIS UNDANG-UNDANG PERADILAN ANAK



ANALISIS

PASAL 29 DAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG

PERADILAN ANAK
 By : Anneka Saldian Mardhiah


Sumber : 'Mbah Google

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

1.      Pasal 29 UU No.3 Tahun 1997
Anak nakal yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin,yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara keseluruhan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang terdiri atas 9 (sembilan) ayat adalah mengatur tentang pidana bersyarat bagi anak nakal. Aturan dalam Pasal 29 UU No 3 Tahun 1997 ini merupakan aturan khusus yang mengenyampingkan aturan umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan kata lain hal ini sesuai dengan prinsip atau azas Lex Specialis Derogat Lege Generalis ialah dimana aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum. Di dalam KUHP pengaturan terkait pidana bersyarat di atur dalam Pasal 14a hingga Pasal 14f.
Dengan adanya ketentuan khusus untuk anak nakal tersebut di dalam UU No 3 Tahun 1997 tentunya diharapakan akan lebih memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan bagi anak tersebut, akan tetapi jika dilihat, dicermati, dan dibandingkan dengan ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu dimana ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih memberikan perlindungan bagi orang dewasa dibandingkan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Beberapa kelemahan yang dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah :

HUKUM LAUT INTERNASIONAL




ANALISIS
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 1985 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)
By : Anneka Saldian Mardhiah
Sumber : "Mbah Google"

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta
United Nations Convention On the Law Of The Sea (UNCLOS III) atau yang sering dikenal dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 merupakan produk hukum internasional yang terakhir disepakati oleh Negara-negara dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai pengaturan laut berskala internasional, merupakan suatu bentuk usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan. Sebelumnya rejim hukum laut sudah mulai diatur dalam Konvensi Jenewa 1958, namun belum mencapai suatu kesempurnaan dalam pengaturan rejim hukum laut dari segala aspeknya, karena dilihat dalam masa perkembangannya menunjukkan bahwa perlu adanya suatu konvensi hukum laut yang baru dan dapat diterima secara umum.
United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III) sebagai hasil dari Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 1982 ditandatangani oleh 117 negara peserta PBB tepatnya di Montego Bay-Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, Konvensi ini mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, dimana satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut dan sebagai bentuk perhatian Indonesia terhadap rejim hukum laut dan untuk memperkuat kedaulatan atas wilayah laut, maka 3 (tiga) tahun berselang setelah ditandatanganinya United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III) Indonesia pun meratifikasi atau mengesahkan konvensi tersebut dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Tindakan Indonesia ini menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban yang melekat pada Indonesia sendiri dalam kancah internasional, khususnya dalam bidang kelautan, dimana Indonesia harus menghormati, mentaati, dan melaksanakan aturan-aturan sesuai dengan ketentuan didalam United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS III).
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 ini disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1985 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto. Undang-undang tersebut terdiri atas 2 Pasal, yaitu :

Jumat, 08 Maret 2013

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI



ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-X/2012 TENTANG  PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta


A.    
OBJEK DAN SUBJEK PERKARA
1.      Objek Perkara
Objek perkara yang dimaksud di sini adalah terkait perkara apa yang  dimohonkan oleh pihak Pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Objek perkara konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi  sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah:
a.       Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Memutus pembubaran partai politik;dan
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 tersebut terlihat jelas bahwasanya objek dari perkara yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi tersebut adalah terkait pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya rumusan Pasal 310 undang-undang tersebut, yaitu berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (Satu Juta Rupiah)
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor  yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00- (Dua Juta Rupiah)
(3) Setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00- (Sepuluh Juta Rupiah)
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp. 12.000.000,00- (Dua Belas Juta Rupiah)

2.      Subjek Hukum ( Para Pihak )
Pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi tentu ada para pihak atau subjek hukum yang mengajukan permohonan perkara tersebut. Para pihak dalam perkara di Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengenal yang namanya Penggugat dan Tergugat, akan tetapi memakai istilah pihak Pemohon sebagai pihak yang mutlak harus ada dan jelas tercantumkan di dalam suatu surat permohonan, kemudian adanya pihak Termohon atau Pihak Terkait.
Syarat-syarat dari para pihak yang dapat dikatakan sebagai Pemohon dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah tergantung pada 4 (empat) bentuk permohonan perkara (objek perkara) yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dimana masing-masing tersebut telah diatur di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi, diantaranya :

Sabtu, 26 Januari 2013

KEWENANGAN BADAN HUKUM YAYASAN


KEWENANGAN BADAN HUKUM YAYASAN
BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH



NB
: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

 
PENDAHULUAN
  
A.     Latar Belakang Masalah
 
Tanggung jawab pembangunan Nasional merupakan tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia, sehingga tidak hanya tanggung jawab pemerintah melainkan juga tanggung jawab semua warga negara.
Perwujudan pembangunan dan partisipasi telah terlihat nyata terutama dalam bidang ekonomi, juga tidak terlepas dari bidang-bidang yang lain seperti dalam bidang agama, social, budaya, dan sebagainya yang melahirkan perkumpulan-perkumpulan, organisasi-organisasi, dan kelompok-kelompok dalam bentuk lain yang kita kenal dengan Badan hukum.
Badan hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban, dapat melakukan perbuatan hukum, dapat menjadi subyek hukum, dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya manusia.
Menurut R. Subekti, Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan/perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat/menggugat di depan hakim (Subekti, 2005: 19).
Salah satu Badan hukum yang ada adalah Yayasan. Yayasan merupakan bentuk badan hukum perdata, yaitu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum Perdata (Machmudin, 2003: 35).
Pada masa lalu pendirian yayasan hanya berdasarkan kebiasaan masyarakat dan yurisprudensi. Ketiadaan Undang-undang yayasan telah menimbulkan sengketa sesama organ yayasan ataupun yayasan dalam
tugasnya tidak sesuai lagi dengan wewenangnya sebagaimana mestinya, sehingga terjadi tindakan-tindakan yang dapat melawan hukum.