NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
Tapi hanya dapat sebagai Landasan sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll).
Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta
ARTIKEL I
Penguasaan Tanah oleh WNA
By : Maria SW Sumardjono
Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia masih
memerlukan kejelasan dalam rangka penyusunan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, dalam PP tersebut terdapat kerancuan pemahaman dan inkonsistensi yang perlu diluruskan.
Pasal 2 angka 1 huruf b menyebutkan bahwa : WNA dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan (pasal 3 dan 4).
Penjelasan pasal 2 angka 1 huruf b yang mendasarkan pada pasal 6 UU
No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman menyatakan bahwa
penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan karena
sifatnya berpangkal pada persetujuan dengan pemegang hak atas tanah,
maka perjanjiannya dapat dibuat di atas tanah Hak Milik (HM) dan Hak
Guna Bangunan (HGB).
Hak Sewa atas Bangunan
PP No. 41 tahun 1996 berbicara tentang pemilikan rumah tinggal/hunian
(bangunan) oleh WNA dengan cara penguasaan (hak atas) tanahnya, baik
atas Tanah Negara atau melalui perjanjian dengan pemegang hak atas
tanah, dan apabila melalui perjanjian harus dalam bentuk akta PPAT
(karena obyek perjanjian adalah pemberian hak baru atas tanah) dan
wajib didaftarkan.
Sebelum PP No. 41/1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP No. 41/1996 (lihat PP No. 44/1994).
Karena obyek perjanjiannya adalah bangunan, maka hak sewa atas
bangunan dapat dibuat terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah HM,
HGB, HP, dan HSUB.
WNA yang berkedudukan diIndonesia
dapat menguasai tanah dengan HP
atau HSUB dan memiliki bangunan yang didirikan di atasnya. Menurut
pasal 44 UUPA, seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa. Dalam pengertian HSUB, pemilik tanah menyerahkan tanah
yang disewa oleh seorang/suatu badan hukum itu dalam keadaan kosong
untuk kemudian si penyewa mendirikan bangunan yang secara yuridis juga
dimiliknya.
HP yang dapat dikuasai oleh WNA dapat terjadi di atas tanah Negara,
tanah Hak Pengelolaan (HPL), dan tanah HM, tetapi HSUB yang mirip HP
dengan kekhususan tertentu hanya dapat terjadi di atas tanah HM.
Sesuai dengan konsepsi hukum tanah nasional, hanya HM yang dapat
menjadi induk hak atas tanah yang lain, karena dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, HM bersifat turun temurun yang juga merupakan
hak terkuat dan terpenuh, sehingga mempunyai kualifikasi dapat menjadi
dasar/induk untuk pemberian hak atas tanah lain, yakni HGB, HP, dan
HSUB.
Terjadinya HP atas tanah HM sudah diatur dalam PP No. 40/1996 tentang
HGU, HGB, dan HP atas Tanah, sedangkan mengenai terjadinya HSUB atas
tanah HM belum diatur. Apabila di masa yang akan datang hal ini akan
diatur, maka analog dengan HP atas tanah HM, maka perjanjian pemberian
HSUB atas tanah HM harus dibuat akta PPAT dan wajib didaftar.
Pasal 2 angka 1 huruf b mengatur tentang pemilikan rumah tinggal
melalui penguasaan tanah (pemberian hak baru atas tanah) berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya yang dapat dilakukan di
atas tanah HM.
Penguasaan Hak Pakai atas Tanah Negara(HPTN) oleh WNA berakhir apabila yang bersangkutan tidak
memenuhi syarat lagi sebagai pemegang HPTN dan tidak
melepaskan/mengalihkan
hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain
yang memenuhi syarat. Seyogianya ditegaskan bahwa rumah dan tanahnya
tersebut dikuasai oleh Negara, dan Negara tidak perlu melelang rumah
dan tanah tersebut dan menyerahkan hasil penjualannya kepada WNA
setelah dikurangi biaya lelang dan ongkos lain seperti yang disebutkan
dalam pasal 6 ayat 2 huruf a. Hal ini tidak sinkron dengan pasal 57 PP
No. 40/1996 yang menyebutkan, bahwa dalam situasi yang sama bekas
pemegang HPTN wajib menyerahkan tanah dalam keadaan kosong kepada
Negara dengan cara membongkar sendiri bangunan dan benda yang ada di
atasnya atau dibongkar oleh negara atas biaya bekas pemegang hak.
Kecuali, apabila bangunan dan benda tersebut masih diperlukan, Negara
akan memberikan ganti kerugian.
Ketentuan apa pun yang dibuat, seyogianya memperhatikan konsepsi yang
mendasari dan sinkron dengan peraturan lain yang terkait, baik secara
horisontal maupun vertikal.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia masih
memerlukan kejelasan dalam rangka penyusunan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, dalam PP tersebut terdapat kerancuan pemahaman dan inkonsistensi yang perlu diluruskan.
Pasal 2 angka 1 huruf b menyebutkan bahwa : WNA dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan (pasal 3 dan 4).
Penjelasan pasal 2 angka 1 huruf b yang mendasarkan pada pasal 6 UU
No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman menyatakan bahwa
penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan karena
sifatnya berpangkal pada persetujuan dengan pemegang hak atas tanah,
maka perjanjiannya dapat dibuat di atas tanah Hak Milik (HM) dan Hak
Guna Bangunan (HGB).
Hak Sewa atas Bangunan
PP No. 41 tahun 1996 berbicara tentang pemilikan rumah tinggal/hunian
(bangunan) oleh WNA dengan cara penguasaan (hak atas) tanahnya, baik
atas Tanah Negara atau melalui perjanjian dengan pemegang hak atas
tanah, dan apabila melalui perjanjian harus dalam bentuk akta PPAT
(karena obyek perjanjian adalah pemberian hak baru atas tanah) dan
wajib didaftarkan.
Sebelum PP No. 41/1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP No. 41/1996 (lihat PP No. 44/1994).
Karena obyek perjanjiannya adalah bangunan, maka hak sewa atas
bangunan dapat dibuat terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah HM,
HGB, HP, dan HSUB.
WNA yang berkedudukan di
atau HSUB dan memiliki bangunan yang didirikan di atasnya. Menurut
pasal 44 UUPA, seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa. Dalam pengertian HSUB, pemilik tanah menyerahkan tanah
yang disewa oleh seorang/suatu badan hukum itu dalam keadaan kosong
untuk kemudian si penyewa mendirikan bangunan yang secara yuridis juga
dimiliknya.
HP yang dapat dikuasai oleh WNA dapat terjadi di atas tanah Negara,
tanah Hak Pengelolaan (HPL), dan tanah HM, tetapi HSUB yang mirip HP
dengan kekhususan tertentu hanya dapat terjadi di atas tanah HM.
Sesuai dengan konsepsi hukum tanah nasional, hanya HM yang dapat
menjadi induk hak atas tanah yang lain, karena dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, HM bersifat turun temurun yang juga merupakan
hak terkuat dan terpenuh, sehingga mempunyai kualifikasi dapat menjadi
dasar/induk untuk pemberian hak atas tanah lain, yakni HGB, HP, dan
HSUB.
Terjadinya HP atas tanah HM sudah diatur dalam PP No. 40/1996 tentang
HGU, HGB, dan HP atas Tanah, sedangkan mengenai terjadinya HSUB atas
tanah HM belum diatur. Apabila di masa yang akan datang hal ini akan
diatur, maka analog dengan HP atas tanah HM, maka perjanjian pemberian
HSUB atas tanah HM harus dibuat akta PPAT dan wajib didaftar.
Pasal 2 angka 1 huruf b mengatur tentang pemilikan rumah tinggal
melalui penguasaan tanah (pemberian hak baru atas tanah) berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya yang dapat dilakukan di
atas tanah HM.
Penguasaan Hak Pakai atas Tanah Negara(HPTN) oleh WNA berakhir apabila yang bersangkutan tidak
memenuhi syarat lagi sebagai pemegang HPTN dan tidak
melepaskan/mengalih
yang memenuhi syarat. Seyogianya ditegaskan bahwa rumah dan tanahnya
tersebut dikuasai oleh Negara, dan Negara tidak perlu melelang rumah
dan tanah tersebut dan menyerahkan hasil penjualannya kepada WNA
setelah dikurangi biaya lelang dan ongkos lain seperti yang disebutkan
dalam pasal 6 ayat 2 huruf a. Hal ini tidak sinkron dengan pasal 57 PP
No. 40/1996 yang menyebutkan, bahwa dalam situasi yang sama bekas
pemegang HPTN wajib menyerahkan tanah dalam keadaan kosong kepada
Negara dengan cara membongkar sendiri bangunan dan benda yang ada di
atasnya atau dibongkar oleh negara atas biaya bekas pemegang hak.
Kecuali, apabila bangunan dan benda tersebut masih diperlukan, Negara
akan memberikan ganti kerugian.
Ketentuan apa pun yang dibuat, seyogianya memperhatikan konsepsi yang
mendasari dan sinkron dengan peraturan lain yang terkait, baik secara
horisontal maupun vertikal.
Tanggal Akses : 5 Januari 2012
ARTIKEL
II
Status Kepemilikan
Hak atas Tanah di Indonesia bagi Perkawinan Antara WNI dengan WNA
By : Dini Lastari Siburian, SH
Post at : 25 November
Banyak pertanyaan bermunculan
bagaimanakah status kepemilikan hak atas tanah/property di Indonesia apabila
seorang WNI menikah dengan WNA? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih
dahulu dipertanyakan kembali kepada pasangan berbeda kewarganegaraan tersebut,
apakah mereka menikah dengan Perjanjian Kawin (Pre-Marital Agreement) atau
tanpa perjanjian tersebut? Apabila mereka memakai Perjanjian Kawin maka tidak
ada percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi
milik masing-masing. Sebaliknya, apabila pasangan perkawinan campuran tersebut
tidak memiliki Perjanjian Kawin maka harta yang dimiliki selama perkawinan
menjadi harta bersama pasangan tersebut, dengan kata lain pihak WNA ikut
memiliki setengah dari tanah tersebut. Sehingga WNI yang menikah dengan WNA
(tanpa Perjanjian Kawin) dipaksa untuk tunduk pada ketentuan peraturan yang
diperuntukkan bagi orang asing.
Berdasarkan
pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 :
“Orang asing
yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan
hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh
pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung.”
Sehingga
berdasarkan peraturan tersebut di atas, WNI harus melepaskan hak atas tanah itu
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dia menikah dengan WNA tersebut.
Berdasarkan
Pasal 21 (ayat 3) UUPA dan dengan adanya percampuran harta akibat perkawinan,
bagi WNI dalam perkawinan campuran, syarat utama untuk mendapat hak kepemilikan
atas tanah adalah Warga Negara Indonesia tunggal (tidak berkewarganegaraan
ganda) dan memegang perjanjian kawin.
Berdasarkan
Pasal 42 dan 45 UUPA dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak
Pakai (HP) atas tanah, WNA dapat memiliki Hak Pakai dan Hak Sewa saja. Sehingga
WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin otomatis digolongkan sebagai
subyek hukum yang hanya berhak untuk mendapatkan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Berdasarkan
Pasal 45 PP 40/1996 Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah dengan status tanah
negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Jangka waktu Hak Pakai
adalah 25 (dua puluh lima )
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
Melihat praktek
hukum akibat diterbitkannya peraturan-peraturan tersebut di atas, mengakibatkan
tidak sedikit penyelundupan hukum yang terjadi di Indonesia . Beberapa kasus yang
banyak mencuat adalah WNI yang melangsungkan pernikahannya dengan WNA di luar
negeri sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di Indonesia
sehingga WNI ini tercatat belum menikah dalam hukum Indonesia
dan otomatis dapat membeli hak atas tanah dan property di Indonesia . Cara lain lagi yaitu
dengan memakai Nominee yaitu suatu perjanjian antara pemilik tanah yang
sebenarnya dengan seorang yang dipakai namanya untuk tertera pada sertifikat
tanah, misalnya A adalah WNI yang menikah dengan WNA dan B adalah WNI biasa.
Perjanjian Nominee ini dibuat oleh A dan B dimana di dalam perjanjian tersebut
disebutkan bahwa pemilik tanah sebenarnya adalah A namun yang tertera di
sertifikat tanah adalah B, sehingga dengan demikian A dapat terus menikmati
tanah yang dibelinya, dia merasa “aman” karena sertifikat hak atas tanah
tertera nama B.
Melihat beberapa
penyelundupan hukum yang terjadi tersebut, seberapa jauh pemerintah Indonesia
atau Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat menyelidiki apakah seseorang yang
mau membeli hak atas tanah/properti menikah dengan orang asing atau bukan.
Bagaimana pula pemerintah menyikapi hal ini?
Kata penutup
adalah sangat disarankan agar apabila seorang WNI tetap ingin dapat memiliki
hak atas kepemilikan tanah setelah menikah dengan WNA, maka sebelum menikah
mereka menanda-tangani Perjanjian Kawin dihadapan Notaris di Indonesia dan
Perjanjian Kawin tersebut dicatatkan di KUA pada Surat Nikah bagi yang beragama
Islam atau pada kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain agama Islam.
Dengan Perjanjian Kawin ini maka tidak terdapat percampuran harta sehingga
harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing jadi tidak
menjadi masalah apabila WNI membeli dan memiliki hak atas tanah dan bangunan di
Indonesia .
WNI yang sudah
terlanjur menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin, sebaiknya tanah yang
dimiliki di Indonesia
segera dipindahtangankan dengan cara dijual atau dihibahkan kepada orang tua,
anak, saudara kandung atau kerabat sebelum diketahui oleh pemerintah yang dapat
menyebabkan hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh kepada Negara tanpa ganti
rugi sesuai dengan peraturan Pasal 21 (ayat 3) UUPA di atas.
Tanggal Akses : 5 Januari 2012
ARTIKEL III
Status Kepemilikan Tanah untuk Orang Asing yang Telah
Menjadi WNI
Bagaimana status hukum apabila
orang asing yang telah menjadi WNI, namun pasangannya masih WNA, sedangkan
pernikahan mereka dahulu dilakukan di negara asal, dan belum didaftarkan di Indonesia ?
Dapatkah pasangan yang telah menjadi WNI memiliki harta berupa tanah? Apabila
dapat, langkah-langkah apa yang harus ditempuh dan syarat apa saja yang harus
dipenuhi?
Sebelumnya yang perlu kita pahami
bahwa terdapat berbagai macam hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seorang
individu di Indonesia .
Menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Agraria”), jenis-jenisnya
adalah:
1)
Hak Milik, yaitu hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah (pasal 20
ayat [1] UU Agraria). Hak Milik ini hanya boleh dipegang oleh seorang
warganegara Indonesia
(pasal 21 ayat [1] UU Agraria),
ataupun oleh badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 ayat [2] UU Agraria)
2)
Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UU Agraria, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan (pasal
28 ayat [1] UU Agraria). Hak Guna usaha ini hanya boleh dipegang oleh
warganegara Indonesia
ataupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia
(pasal 30 ayat [1] UU Agraria)
3)
Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun (pasal 35 ayat 1
UU Agraria). Hak Guna Bangunan hanya boleh dipegang oleh warganegara Indonesia ataupun badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
(pasal 36 ayat [1] UU Agraria)
4)
Hak Pakai, adalah adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang (pasal 41 ayat [1] UU
Agraria). Yang boleh menjadi pemegangnya adalah warga negara Indonesia (“WNI”), orang asing (warga negara
asing/”WNA”) yang berkedudukan di Indonesia ,
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia ,
atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (pasal 42 UU Agraria)
Dalam masalah yang Anda uraikan,
perkawinan pasangan tersebut merupakan perkawinan campuran, yaitu perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
(pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan/”UU Perkawinan”). Dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI
pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha
ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam pasal 35 UU Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini,
dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak
yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan
campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha.Akan
tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha
ataupun Hak Guna Bangunan, dengan catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian
perkawinan sebelum menikah, yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka tidak terdapat percampuran harta
sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak tersebut adalah menjadi milik
masing-masing.Yang harus diingat, perjanjian perkawinan untuk memisahkan harta
tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan. Ini sesuai dengan
definisi perjanjian perkawinan dalam pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan,
yaitu:
“Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut”
Apabila pelaku perkawinan
campuran tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelum
perkawinan, maka mereka tidak dapat memiliki hak atas tanah yang berupa Hak
Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan. Akan tetapi mereka bisa menjadi
pemegang Hak Pakai. Sebagaimana dijelaskan di atas, Hak Pakai dapat dipegang
oleh seorang WNA, sehingga tidak ada masalah walaupun sang pasangan masih
berstatus WNA.
Perkawinan yang dilakukan
di luar wilayah Indonesia
harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di
Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun(pasal 73 Perpres No.
25/2008). Namun, apabila jangka waktu satu tahun ini terlewati, pencatatan
perkawinan masih bisa dilakukan melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan
domisili yang bersangkutan, dan dengan dikenai denda administratif sesuai pasal
107 Perpres No. 25/2008.
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Tanggal Akses : 5 Januari 2012
ANALISIS
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960,
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, menyebutkan bahwa “ Hanya Warga Indonesia dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Pasal tersebut
menyiratkan makna bahwasanya erat sekali hubungan bangsa Indonesia dengan segala sesuatu yang ada di
wilayah kekuasaan Negara Indonesia .
Oleh karena itu seorang WNA ataupun seorang yang berkewarganegaraan rangkap
tidak memiliki hak atas tanah hak milik, seperti yang diatur dalam Pasal 21
ayat (1) UU No.5 Tahun 1960, bahwa “Hanya
warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak
milik”.
Pasal 24 ayat 4 UUPA menentukan, bahwa selama seseorang di samping
kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing, maaka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan
Hak milik. Ini berarti, bahwa Ia selama itu dalam hubungannya dengan soal
pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing. Maka pasal di atas, menekankan
bahwa yang boleh mempunya tanah dengan Hak milik itu hanyalah warga Negara Indonesia
tunggal saja.
Biarpun pada azasnya hanya orang-orang warga Negara
Indonesia saja yang dapat memiliki dan menguasai tanah di Indonesia, akan
tetapi dalam hal-hal tertentu selama waktu yang terbatas, Undang-Undang Pokok
Agraria masih memberikan kesempatan orang-orang asing dan warga Negara
Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan Hak
milik.
Pada artikel I, menyebutkan bahwasanya berdasarkan
Pasal 2 angka 1 huruf b PP No. 41 Tahun 1996 menyatakan, bahwa seorang WNA
dapat memiliki rumah yang berdiri sendiri di atas tanah Hak Pakai atas Tanah
Negara. Jadi, makna yang terdapat pada pasal tersebut ialah bahwa penguasaan
tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan dibolehkan saja bagi
seorang WNA. Namun, tetap berpatokan pada adanya persetujuan dari pemegang Hak
atas tanah.
Begitu juga halnya dengan Hak pakai, WNA diberikan Hak
Pakai atas suatu tanah, seperti yang telah diatur dalam Pasal 42 UUPA,
bahwasanya orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai hak
milik, selain itu Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesiapun
juga dapat memiliki Hak Pakai atas suatu tanah.
Seorang warga Negara asingpun juga dapat memiliki Hak
Sewa untuk Bangunan atas tanah, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 45
Undang-Undang Pokok Agraria.
Walaupun Hak Milik secara langsung tidak dapat
dimiliki oleh seorang WNA, seperti yang tercantum pada pasal sebelumnya, namun
Hak Milik dapat menjadi Induk terhadap berbagai hak-hak atas tanah lainnya, seperti
kenyataan yang kita temui adanya Hak Pakai atas tanah Hak Milik, tapi dengan
luas yang terbatas.
Pada Ketentuan Peralihan BAB IV Undang-Undang Pokok
Agraria, yaitu Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“ Hak-hak asing
yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV, dan V dijadikan hak guna
usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu
hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun “
Maka oleh karena itu hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh Warga Negara
Asing berupa Hak guna usaha dan Hak guna bangunan hanya dapat digunakan untuk
sementara waktu tertentu yang telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-undang
maupun Peraturan pemerintah.
Pada artikel II dan III, disana lebih membahas
mengenai status kepemilikan atas suatu tanah yang mengarah kepada seseorang
yang berkewarganegaraan WNI dan/atau WNA dengan pasangannya seorang WNI
dan/atau WNA dalam suatu ikatan perkawinan.
Berdasarkan Pasal
21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, bahwa “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan – tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan
hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilang kewarganegaraan itu. Jika sesuadah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh
pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung “.
Maka berdasarkan aturan dalam pasal UUPA tersebut di
atas, seorang WNI harus melepaskan haknya atas tanah dalam jangka waktu satu
tahun sejak Ia menikah dengan seorang WNA tersebut.
Jika sebelum seorang WNI menikah dengan seorang WNA
melakukan Perjanjian kawin, maka tidak akan ada pencampuran harta, sehingga
harta dimiliki oleh masing-masing pihak akan menjadi milik mereka
masing-masing. Tapi jika tidak melakukan Perjanjian kawin, maka harta yang
dimiliki selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan kata lain pihak WNA
terhadap hak atas tanah menjadi pemilik setengah dari tanah tersebut.
Selanjutnya, persoalan yang mempengaruhi hak WNA atas
tanah di Indonesia ialah ketika mereka dihadapkan pada suatu kenyataan yang
terjadi, yaitu disaat orang asing telah menjadi WNI, namun pasangannya masih
WNA, dimana pernikahannya dilakukan di Negara asal ( di luar Indonesia ),
sehingga ini dapat dikatakan suatu perkawinan campuran.
Maka berdasarkan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dalam hal perkawinan campuran tersebut, orang asing yang telah
menjadi WNI tersebut tetap tidak dapat memiliki hak atas tanah Hak Milik, hak
guna usaha, ataupun hak guna bangunan. Hal ini karena sesuai dengan pemaparan
sebelumnya dan sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan, bahwa “harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama “.
Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang juga
mengatur tentang pemindahan hak atas tanah terhadap orang asing, yaitu suatu
jual beli hak atas tanah kepada orang asing adalah batal karena hukum dan
tanahnya akan jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak lain yang
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Hal ini secara jelas telah
diatur dalam pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan, bahwa:
“ Setiap
jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud
dalam pasal 21 ayat (2) adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat
dituntut kembali “.
Dalam kaitannya pemindahan hak atas tanah, maka di
sini fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan yang utama, walaupun
kita tahu tentang pemindahan hak atas tanah kepada orang asing yang tidak
berhak, dapat saja dilakukan dengan Kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik
kembali. Maka di sinilah perlunya kejelian Pejabat Pembuat Akta Tanah.
KESIMPULAN ANALISIS
Berdasarkan analisis ke Tiga Artikel mengenai hak atas
tanah oleh Warga Negara Asing di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Warga Negara Asing tidak memiliki hak atas tanah Hak
Milik karena telah diatur oleh Undang-Undang.
2.
Warga Negara Asing dapat memiliki hak atas tanah,
dengan syarat memenuhi segala ketentuan kepemilikan terhadap hak atas tanah
yang ada, seperti Warga Negara Asing memiliki Hak Pakai atas tanah, Hak sewa
untuk bangunan.
3.
Seorang Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga
Negara Asing, yang menimbulkan suatu status perkawinan campuran. Maka WNI
tersebut tidak memiliki hak atas harta yang ada di Indonesia (seperti tanah ).
4.
Warga Negara Asing dapat menggunakan atau memanfaatkan
tanah yang telah diperuntukkan bagi Warga Negara Asing di Indonesia, namun
dengan luas yang terbatas dan dalam waktu yang tidak lama (sementara).
ijin copas yaaa..untuk referensi bahan makalah ku....makaciiiih
BalasHapus(Y)
HapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
HapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Boy Suwandi 28 Apr 2014.
BalasHapusIjin Copas untuk menjawab pertanyaan rekan di Taiwan.
Terima kasih
081380114600 - ptejtm@centrin.net.id
Siiip....
HapusAssalamualaikum. Sy minta izinnya buat mnjadikan article ini sbgai bagian dr tgs analisis sy. Terimakasih sebelumnya krn sdh menulis article tentang hak atas tanah ini. Wassalam.
BalasHapusWa'alaikumsalaam..
HapusOK.. :)
Terima kasih udah "berkunjung" ke blog saya..
Semoga bermanfaat
:)
BalasHapus(Y)
IZIN COPS Y OMM
BalasHapusada alamat email atau kontak untuk menghubungi ibu maria sumarjono? ada keperluan untuk skripsi. trimakasih
BalasHapusmisi.... ijin copas ya buat tugas praktek SMP. mencari hubungan negara Indonesia sama negara asing. Makasih ya udah bikin blog ini. Saya merasa terbantuuuuuuu banget.
BalasHapusDelia S.
ijin copas ya mb buat penulisan akhir, terimakasih
BalasHapusijin copas ya mb buat penulisan akhir, terimakasih
BalasHapusizin untuk copas artikelnya..ini artikelnya buat referensi tugas makalah saya...
BalasHapusterima kasih
Ijin copas yaa mbak
BalasHapusBagaimana jika WNI pindah kewarganegaraan tapi bukan karena menikah. Apakah jika sudah punya rumah di INDONESIA maka akan kehilangan hak juga atas rumah tersebut.
BalasHapusIzin copast ya mbak
BalasHapusSulit dipercaya bagaimana saya mendapat pinjaman Rp150.000.000. Nama saya Ny. Mainunah Elsa saya adalah warga negara Indonesia. Saya senang saya mendapat pinjaman dari pemberi pinjaman yang membantu saya dengan pinjaman saya. Saya telah mencoba layanan yang berbeda tetapi saya tidak pernah bisa mendapatkan pinjaman dari layanan tersebut. beberapa dari mereka akan meminta saya untuk mengisi banyak dokumen dan pada akhirnya tidak akan berakhir dengan baik. tetapi saya senang setelah bertemu dengan MOTHER KARINA, saya bisa mendapatkan pinjaman Rp150.000.000 sekarang bisnis saya berjalan dengan baik dan saya ingin memberi tahu Anda semua hari ini karena mereka cepat dan 100% dapat diandalkan. sekarang saya membayar kembali pinjaman yang saya dapatkan dari Perusahaan (KARINA ROLAND LOAN COMPANY). hubungi mereka dan jangan buang waktu Anda dengan para peminjam pinjaman palsu: Email: (karinarolandloancompany @ gmail. com
BalasHapusNAMA PERUSAHAAN = PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA
EMAIL PERUSAHAAN = KARINAROLANDLOANCOMPANY@GMAIL.COM
EMAIL SAYA = MAIMUNAHELSAELSA@GNAIL.COM
ACCOUNT NUMBER = 0826401612
NAMA ACCOUNT = PINJAMAN YANG DISEDIAKAN MAINUNAH ELSAAP = RP150.000.000
BANK KODE = 004
BANK NEGARA INDONESIA