BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH
NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
Tapi
hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)
BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP
PLAGIAT!!
@hak ciptaA. OBJEK DAN SUBJEK PERKARA
1.
Objek Perkara
Objek perkara yang dimaksud di sini adalah terkait
perkara apa yang dimohonkan oleh pihak
Pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Objek perkara konstitusi yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU
Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah:
a.
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c.
Memutus pembubaran partai politik;dan
d.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 tersebut
terlihat jelas bahwasanya objek dari perkara yang dimohonkan ke Mahkamah
Konstitusi tersebut adalah terkait pengujian Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya rumusan
Pasal 310 undang-undang tersebut, yaitu berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan
kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000,00- (Satu Juta Rupiah)
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan
kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 2.000.000,00- (Dua Juta Rupiah)
(3) Setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban
luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
10.000.000,00- (Sepuluh Juta Rupiah)
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp. 12.000.000,00- (Dua Belas
Juta Rupiah)
2.
Subjek Hukum ( Para
Pihak )
Pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi tentu ada
para pihak atau subjek hukum yang mengajukan permohonan perkara tersebut. Para
pihak dalam perkara di Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengenal yang namanya
Penggugat dan Tergugat, akan tetapi memakai istilah pihak Pemohon sebagai
pihak yang mutlak harus ada dan jelas tercantumkan di dalam suatu surat
permohonan, kemudian adanya pihak Termohon atau Pihak Terkait.
Syarat-syarat dari para pihak yang dapat dikatakan
sebagai Pemohon dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah
tergantung pada 4 (empat) bentuk permohonan perkara (objek perkara) yang dapat
diajukan ke Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dimana masing-masing tersebut
telah diatur di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi, diantaranya :
a.
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ø
Merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
b.
Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Ø
Merupakan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan
c.
Pembubaran partai politik
Ø
Pemohon adalah Pemerintah.
d.
Perselisihan hasil pemilihan umum
Ø
Merupakan perorangan warga negara Indonesia calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
Ø
Merupakan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
Ø
Merupakan partai politik peserta pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pihak yang
berperkara adalah :
a. Pemohon
Nama :
Saipul Jamil
Kewarganegaraan :
Indonesia
Alamat : Jalan Gading Indah Utara VI Nomor 05 Blok NH 10 RT/RW 025/012,
Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Pekerjaan : Swasta
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Mei 2012
dan 19 Juni 2012 memberi kuasa kepada 1) R.M Tito Hananta Kusuma,SH,.MH., 2)
Andi Faisal, SH,.MH., 3) Teguh Prasetyo,SH., 4) Roland Hutabarat,SH, 5) Arvid
Martdwisaktyo,SH., 6) Rioberto P Sidauruk,SH., 7) Ihwansyah A Udaya,SH., 8)
Santoso SH, Advokat/Pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum “Tito
Hananta Kususma & Co”
b. Termohon atau Pihak Terkait
Secara Eksplisit yang disebut dengan pihak Termohon hanyalah untuk
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, sedangkan untuk pembubaran
partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya pihak Termohon bersifat implisit, dan bahkan
untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak Termohon, DPR
dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi keterangan sebagai pembentuk
undang-undang (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 131).
Berdasarkan hal di atas, maka perkara dalam contoh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut
tidak ada yang namanya Pihak Termohon, akan tetapi dalam perkara tersebut
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanyalah sebagai pemberi keterangan
atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat
yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”.
Hal demikian berlaku
karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa Presiden
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat membentuk Undang-undang, sehingga
beralasanlah kalau Mahkamah Konstitusi
meminta keterangan dan/atau risalah rapat terkait pembentukan UU yang merupakan
permohonan yang sedang diperiksa.
B. KEDUDUKAN PERKARA
1.
Pokok Permohonan ( Posita)
Di dalam permohonan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor
57/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Saipul Jamil beserta kuasanya yang dalam hal
ini bertindak sebagai Pemohon, yang menjadi pokok-pokok permohonannya (Posita)
adalah:
a.
Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo (Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan) tidak memberikan penjelasan secara khusus mengenai frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” sehingga tidak memberikan kepastian hukum, terdapat
potensi ketidakadilan terhadap diri Pemohon yang bertentangan dengan hak
konstitusional Pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang a quo sehingga merugikan Pemohon incasu melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, yang berbunyi “ Setiap orang berhak
atas pengakuan , jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum” juncto
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
b.
Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo sepanjang frasa “kelalaiannya”
dan “orang lain” yang sudah diatur
dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya
mengatur tentang kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Bahwa
dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo
juga mengatur rumusan perbuatan dan akibat yang sama tetapi ancaman hukumannya
lebih berat yaitu 6 (enam) tahun penjara, sehingga dapat dikatakan Pasal 310
Undang-Undang a quo merupakan aturan
yang lebih khusus (lex specialis)
dari Pasal 359 KUHP sebagai aturan yang lebih umum (lex generalis).
Dengan demikian, kalaulah ada aturan yang lebih khusus (lex specialis) in casu Pasal 310 Undang-Undang a
quo. Menurut hemat Pemohon haruslah ada kondisi yang lebih khusus lagi
dalam hal yang bagaimana frasa “kelalaiannya”
tersebut didefenisikan dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo. Oleh karenanya Pemohon dalam permohonannya memohon agar
frasa “kelalaiannya” didefenisikan
lebih khusus lagi,misalnya :
“Yang dimaksud dengan “kelalaiannya”
adalah dalam hal seseorang keadaan seseorang yang menkonsumsi zat-zat adiktif,
minuman beralkohol, Narkotika (baik berupa tanaman maupun bukan tanaman) yang
mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesadaran dan melakukan
aktivitas-aktivitas yang tidak wajar dalam berkendara”.
c.
Bahwa sebagai akibat tidak adanya penafsiran dalam
Pasal 310 Undang-Undang a quo, sepanjang
frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” maka pasal tersebut dapat
menimbulkan kerugian ketidakpastian hukum dan dapat melanggar hak
konstitusional Pemohon.
2.
Petitum
Berdasarkan dalil-dalil yang tercantum dalam pokok
permohonan di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk :
a.
Memberikan penafsiran yang lebih khusus atas Pasal 310
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain”.
b.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Atau apabila Majelis
Hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
C. PANDANGAN AHLI
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah
Konstitusi menyebutkan bahwa dapat dilakukannya Pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah jika
Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, dimana lebih lanjut diatur dalam beberapa Putusan
Mahkamah Konstitusi bahwa kerugian konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta harus adanya hubungan
sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya.
Hal demikian sejalan dengan yang dipaparkan oleh Dr.
Moh.Mahfud MD, di dalam bukunya “Demokrasi
dan Konstitusi di Indonesia” yang menyebutkan diantara syarat-syarat (ciri-ciri)
pemerintahan yang demokratis di bawah Rule
Of Law adalah adanya perlindungan
konstitusional, dan Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
Perlindungan
konstitusional yang dipaparkan tersebut mengandung arti bahwasanya suatu negara
yang dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah selain menjamin hak-hak individu
konstitusi juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan
atas hak-hak yang dijamin tersebut.
Gustav
Rabruch dalam Fery Amsary, “ Terdapat tiga nilai yang harus selalu diperhatikan
dalam menegakkan hukum, yaitu; Kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan”.
Pendapat Gustav Rabruch tentu akan dapat dijadikan salah satu pedoman bagi
Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara disamping adanya pedoman-pedoman
lainnya.
D. ANALISIS
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah
perubahan, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman yang ada
di Indonesia, merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang
memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final, artinya tidak ada lagi upaya
hukum yang dapat dilakukan dan karenanya Putusan tersebut akan mengikat para
pihak secara umum dimana para pihak tersebut harus tunduk dan taat melaksanakan
putusan tersebut.
Oleh karena putusan bersifat final tersebut, maka
jelaslah bahwasanya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan
dengan sebaik-baiknya segala hal menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon
sebagai salah satu bentuk usaha untuk tegaknya konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi.
Secara keseluruhan jika kita sudah berada pada
penganalisaan suatu Putusan Mahkamah Konstitusi maka secara tidak langsung hal
tersebut telah menunjukkan bahwa
prosedur sebelum perkara dapat diadili di Mahkamah Konstitusi sudah terpenuhi
dan telah melalui tahap-tahap atau proses pemeriksaan di persidangan Mahkamah
Konstitusi, seperti syarat-syarat dari pengajuan suatu permohonan perkara yang
didaftarkan , baik itu syarat-syarat yang melekat pada diri para pihak maupun
pada objek yang dimohonkan , sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Maka untuk selanjutnya Penulis akan mencoba
menjelaskan dan menguraikan satu per satu dari hal-hal yang perlu untuk
disoroti lebih jauh lagi terkait penganalisaan terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut
1.
Isi / Bagian Putusan
Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat
(2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi :
a.
Kepala Putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.
Identitas para pihak;
c.
Ringkasan permohonan;
d.
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e.
Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan;
f.
Amar putusan;
g.
Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan
Panitera.
Menurut hemat Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012
terkait pengujian UU Nomor 22 Tahun 2009 terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan sudah memenuhi syarat dari Isi
atau Bagian-bagian yang harus termuat dalam suatu Putusan Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di atas.
2.
Kompetensi Mengadili
Perkara yang diajukan oleh Pihak Pemohon Saipul Jamil
ke Mahkamah Konstitusi, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 10 UU MK, maka
perkara yang diajukan tersebut adalah termasuk kedalam salah satu dari wewenang
Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi
hal tersebut belumlah serta merta menunjukkan kewenangan Mahkamah Konstitusi,
karena selain dari pada itu yang perlu diperhatikan dalam pengujian UU terhadap UUD 1945, juga
harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 UU MK bahwa “ Undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah Undang-undang yang diundangkan setelah perubahan
UUD 1945”.
Jika dilihat dan dibandingkan antara tahun perubahan
terakhir UUD 1945 dengan tahun diundangkannya Undang-undang yang diajukan untuk
di uji di Mahkamah Konstitusi yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009, maka UU yang
diujikan oleh Pemohon Saipul Jamil ke MK sudah memenuhi ketentuan dari Pasal 50
UU MK tersebut, karena UU tersebut dibuat dan disahkan setelah terjadinya
perubahan UUD 1945.
3.
Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemohon
yang dapat mengajukan permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-undang.
Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan
konstitusinya dirugikan oleh Undang-undang adalah sebagaimana yang diatur lebih
lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei
2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20 September
2007 adalah bahwasanya kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012
dimana Saipul Jamil sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
perkaranya ke Peradilan Mahkamah Konstitusi.
4.
Pertimbangan Hukum
Secara garis besar pendapat Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi terhadap pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
57/PUU-X/2012 terkait pengujian Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 terhadap UUD
1945 tersebut Penulis sependapat dengan dengan pertimbangan tersebut.
Namun, disamping itu masih ada pendapat Majelis Hakim
dalam pertimbangan hukum terhadap perkara tersebut yang menurut Penulis masih
kurang tepat, ialah yang mana salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi terkait frasa ” kelalaiannya” yang diartikan bahwasanya
dalam Pasal 28 G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
melarang Negara melalui Undang-undang menjatuhkan pidana terhadap orang yang
nyata-nyata lalai.
Akibat pertimbangan Majelis Hakim tersebut, Pemohon
tetap merupakan Subjek hukum yang termasuk kedalam kategori “lalai”, yaitu
lalai dalam mengendarai kendaraannya yang mengakibatkan meninggalnya istri
Pemohon sendiri, yang menjerat pemohon dalam kasus pidana, yang merupakan
perkara yang terpisah dengan permohonan perkara pemohon di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Penulis, seharusnya Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi harus memberikan penafsiran yang jelas atas frasa “kelalaian” dalam
Pasal 310 UU Lalu Lintas ssebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon dalam
pengajuan perkara di MK tersebut.
Karena Penulis beranggapan bahwa harus adanya
kejelasan-kejelasan sebab-sebab “kelalaian” yaitu disamping kelalaian
mengakibatkan dapat dipidananya seseorang, akan tetapi juga harus adanya suatu
pertimbangan “pemaafan” dalam hal kelalaian tersebut, dan dalam hal ini
meninggalnya seseorang dalam kecelakaan lalu lintas yang dimana pengendaranya
sendiri memiliki hubungan keluarga dengannya. Seharusnya untuk hal tersebut
Majelis Hakim memberikan penafsiran suatu perbuatan yang diluar kehendak orang
yang bersangkutan.
Oleh karena itu frasa “kelalaiannya” tersebut tidak
tepat jika ditujukan untuk kasus yang menimpanya (Saipul Jamil) tersebut.
5.
Amar Putusan
Setelah semua pemeriksaan di persidangan dilakukan,
selanjutnya adalah tahap penjatuhan putusan akhir. Amar putusan adalah apa yang
diputuskan secara final oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
Hakim setelah dilakukannya pemeriksaan perkara di persidangan Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Mahkamah
Konstitusi, bentuk-bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi dapat berupa :
a.
Menyatakan permohonan tidak dapat diterima,jika dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU MK.
b.
Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan.
c.
Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal
pembentukan Undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
Undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
d.
Menyatakan permohonan ditolak, jika dalam hal
undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagaian atau keseluruhan.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 57/PUU-X/2012 yang menjadi Amar Putusan/Putusan akhir Majelis Hakim
terhadap perkara yang diajukan Pemohon sebagaimana yang telah diputuskan dalam
Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim tanggal 8 Agustus 2012, yaitu mengadili
“MENYATAKAN MENOLAK PERMOHONAN UNTUK SELURUHNYA”
Dengan dinyatakannya permohonan Pemohon ditolak untuk
seluruhnya, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang diperkarakan oleh Pemohon akan tetap berlaku, dimana dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwasanya Undang-undang tersebut
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dimana tidak bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 28 G ayat (1) UUD
1945 sebagaimana yang dijadikan acuan oleh Pemohon dalam mengajukan perkaranya
ke Mahkamah Konstitusi.
mohon ijin copas ya kak.. untuk dilihat sebagai contoh cara nulis analisis putusan MK... untuk tugas kuliah :) ..
BalasHapusiyaa...silahkan,,terima kasih sudah memanfaatkannya sbgmna mestinya... :)
HapusIzin copas mbak tugas UAS skrng di kumpul
Hapusinspired!!
BalasHapuskebetulan saya dapat tugas untuk menganalisis putusan MK Latvia, bingung mau mulai dari mana
but then i found this!
thank you so much
salam kenal dari palembang :D
:) :)
Hapusterima kasih kembali,,,tulisan ini sudah bermanfaat dan dimanfaatkan dg baik,,,
mmm...mungkin masih banyak kekurangan ditulisan ini,,,semoga dengan adanya tulisan ini kamu bisa melakukan analisis lbih baik lagi,,,memperbaiki/menambahkan kekurangannya dianalisismu...
*analisis putusan MK Latvia?!!!!!
wooowww!!!!amazing!!!
tugasnya berkualitas sekali!!!!
Semoga sukses
#salam kenal kembali dari jambi kawandd :) :)
mohon ijin copas
BalasHapussama seperti rekan dinary
sebagai acua untuk tugas mata kuliah MK
ok :)
Hapusmohon izin CoPas y mbak ..
BalasHapusuntuk kerangka acuan saya ..
ilmu ny sangat bermanfaat bagi saya mbak .. :-)
mohon ijin untuk keperluan tugas ya
BalasHapusmakasih atas tulisannya
saat membantu saya
mohon ijin copass sebagai contoh menganalisis suatu putusan
BalasHapusijin ya
BalasHapusMohon ijin copas mbak,untuk acuan menganalisis sebuah keputusan
BalasHapusMinta izinnya ya kak untuk mempelajari analisis ini sebagai refrensi saya menganalisis putusan MK yang lain, terima kasih :)
BalasHapusijin copas ya mbak, buat ngerjain tugas analisis putusan
BalasHapusmohon ijin copas mbak, buat tugas kuliah hari ini di kumpulin. hehehe...
BalasHapusizin copas struktur penulisan analisis putusan mk. sebelumnya terima kasih.
BalasHapusizin copas :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusijin copas ya mbak, buat mata kuliah mk
BalasHapusMohon izin copas, mbk. untuk contoh kerangka analisis. Untuk tugas kuliah. Terimakasih
BalasHapusOkeey..terima kasih a/ kunjungannya
Hapusizin copas ya mba
BalasHapusizin copas sama dengan yg lain mbk
BalasHapusCopas mb.trims
BalasHapusIzin copas sebagai refrensi kak
BalasHapusijin copas ya mbak, untuk meniru format analisis putusannya :)
BalasHapusijin pakai ya min buat studi ilmu hukum
BalasHapusIjin copas ya mbak, untuk referensi matkul ...
BalasHapusizin untuk referensi matkul hukum perdata
BalasHapusizin belajar bosku
BalasHapusIjin copas. Buat pembelajaran ngebuat analisi
BalasHapusIzin copas formatnya ya mbak lg selesaiin tugas analisis putusan MK tentang pemda
BalasHapusizin capas kk
BalasHapuska mohon ijin copas. makasihh:))
BalasHapusmohon ijin copas juga kak
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMohon izin copas yaa untuk tugas kuliah, terimakasih!❤️
BalasHapusijin copas ya mbak buat acuan format analisisnya untuk tugas kuliah
BalasHapusmakasih!
ijin copas ya buat acuan tugas kuliahh. makasii
BalasHapusIzin copas Mbak untuk tugas UAS, terima kasih.😊
BalasHapusMohon izin copas ya Mbak buat acuan tugas uas kuliah 🙏😊
BalasHapusizin copas ya mbak :D
BalasHapusIjin copass mbaak.. Terima kasih seblmnya
BalasHapus