Jumat, 08 Maret 2013

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI



ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-X/2012 TENTANG  PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta


A.    
OBJEK DAN SUBJEK PERKARA
1.      Objek Perkara
Objek perkara yang dimaksud di sini adalah terkait perkara apa yang  dimohonkan oleh pihak Pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Objek perkara konstitusi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi  sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah:
a.       Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       Memutus pembubaran partai politik;dan
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pada contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 tersebut terlihat jelas bahwasanya objek dari perkara yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi tersebut adalah terkait pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya rumusan Pasal 310 undang-undang tersebut, yaitu berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00- (Satu Juta Rupiah)
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor  yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00- (Dua Juta Rupiah)
(3) Setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00- (Sepuluh Juta Rupiah)
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp. 12.000.000,00- (Dua Belas Juta Rupiah)

2.      Subjek Hukum ( Para Pihak )
Pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi tentu ada para pihak atau subjek hukum yang mengajukan permohonan perkara tersebut. Para pihak dalam perkara di Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengenal yang namanya Penggugat dan Tergugat, akan tetapi memakai istilah pihak Pemohon sebagai pihak yang mutlak harus ada dan jelas tercantumkan di dalam suatu surat permohonan, kemudian adanya pihak Termohon atau Pihak Terkait.
Syarat-syarat dari para pihak yang dapat dikatakan sebagai Pemohon dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah tergantung pada 4 (empat) bentuk permohonan perkara (objek perkara) yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dimana masing-masing tersebut telah diatur di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi, diantaranya :
a.       Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ø      Merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
b.      Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Ø      Merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan
c.       Pembubaran partai politik
Ø      Pemohon adalah Pemerintah.
d.      Perselisihan hasil pemilihan umum
Ø      Merupakan perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
Ø      Merupakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
Ø      Merupakan partai politik peserta pemilihan umum.
Pada  contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pihak yang berperkara adalah :
a.      Pemohon
Nama                        : Saipul Jamil
Kewarganegaraan      : Indonesia
Alamat                      : Jalan Gading Indah Utara VI Nomor 05 Blok NH 10 RT/RW 025/012, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Pekerjaan                  : Swasta
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Mei 2012 dan 19 Juni 2012 memberi kuasa kepada 1) R.M Tito Hananta Kusuma,SH,.MH., 2) Andi Faisal, SH,.MH., 3) Teguh Prasetyo,SH., 4) Roland Hutabarat,SH, 5) Arvid Martdwisaktyo,SH., 6) Rioberto P Sidauruk,SH., 7) Ihwansyah A Udaya,SH., 8) Santoso SH, Advokat/Pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum “Tito Hananta Kususma & Co”
b.      Termohon atau Pihak Terkait
Secara Eksplisit yang disebut dengan pihak Termohon hanyalah untuk sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, sedangkan untuk pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya pihak Termohon bersifat implisit, dan bahkan untuk pengujian konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak Termohon, DPR dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi keterangan sebagai pembentuk undang-undang (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 131).
Berdasarkan hal di atas, maka perkara dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak ada yang namanya Pihak Termohon, akan tetapi dalam perkara tersebut Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanyalah sebagai pemberi keterangan atas dasar permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”.
Hal demikian berlaku karena berkaitan erat dengan amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat membentuk Undang-undang, sehingga beralasanlah kalau  Mahkamah Konstitusi meminta keterangan dan/atau risalah rapat terkait pembentukan UU yang merupakan permohonan yang sedang diperiksa.
B.     KEDUDUKAN PERKARA
1.      Pokok Permohonan ( Posita)
Di dalam permohonan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Saipul Jamil beserta kuasanya yang dalam hal ini bertindak sebagai Pemohon, yang menjadi pokok-pokok permohonannya (Posita) adalah:
a.       Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo (Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) tidak memberikan penjelasan secara khusus mengenai frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” sehingga tidak memberikan kepastian hukum, terdapat potensi ketidakadilan terhadap diri Pemohon yang bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang a quo sehingga merugikan Pemohon incasu melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukumjuncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
b.      Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” yang sudah diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya mengatur tentang kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Bahwa dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo juga mengatur rumusan perbuatan dan akibat yang sama tetapi ancaman hukumannya lebih berat yaitu 6 (enam) tahun penjara, sehingga dapat dikatakan Pasal 310 Undang-Undang a quo merupakan aturan yang lebih khusus (lex specialis) dari Pasal 359 KUHP sebagai aturan yang lebih umum (lex generalis).
Dengan demikian, kalaulah ada aturan yang lebih khusus (lex specialis) in casu Pasal 310 Undang-Undang a quo. Menurut hemat Pemohon haruslah ada kondisi yang lebih khusus lagi dalam hal yang bagaimana frasa “kelalaiannya” tersebut didefenisikan dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo. Oleh karenanya Pemohon dalam permohonannya memohon agar frasa “kelalaiannya” didefenisikan lebih khusus lagi,misalnya :
“Yang dimaksud dengan “kelalaiannya” adalah dalam hal seseorang keadaan seseorang yang menkonsumsi zat-zat adiktif, minuman beralkohol, Narkotika (baik berupa tanaman maupun bukan tanaman) yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesadaran dan melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak wajar dalam berkendara”.
c.       Bahwa sebagai akibat tidak adanya penafsiran dalam Pasal 310 Undang-Undang a quo, sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” maka pasal tersebut dapat menimbulkan kerugian ketidakpastian hukum dan dapat melanggar hak konstitusional Pemohon.
2.      Petitum
Berdasarkan dalil-dalil yang tercantum dalam pokok permohonan di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk :
a.       Memberikan penafsiran yang lebih khusus atas Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain”.
b.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
C.     PANDANGAN AHLI
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa dapat dilakukannya Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah jika Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, dimana lebih lanjut diatur dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta harus adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
Hal demikian sejalan dengan yang dipaparkan oleh Dr. Moh.Mahfud MD, di dalam bukunya “Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia” yang menyebutkan diantara syarat-syarat (ciri-ciri) pemerintahan yang demokratis di bawah Rule Of  Law adalah adanya perlindungan konstitusional, dan Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
Perlindungan konstitusional yang dipaparkan tersebut mengandung arti bahwasanya suatu negara yang dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah selain menjamin hak-hak individu konstitusi juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut.
Gustav Rabruch dalam Fery Amsary, “ Terdapat tiga nilai yang harus selalu diperhatikan dalam menegakkan hukum, yaitu; Kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan”. Pendapat Gustav Rabruch tentu akan dapat dijadikan salah satu pedoman bagi Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara disamping adanya pedoman-pedoman lainnya.


D.    ANALISIS
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia,  merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, artinya  tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan dan karenanya Putusan tersebut akan mengikat para pihak secara umum dimana para pihak tersebut harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.
Oleh karena putusan bersifat final tersebut, maka jelaslah bahwasanya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya segala hal menyangkut perkara yang diajukan oleh Pemohon sebagai salah satu bentuk usaha untuk tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi.
Secara keseluruhan jika kita sudah berada pada penganalisaan suatu Putusan Mahkamah Konstitusi maka secara tidak langsung hal tersebut telah menunjukkan  bahwa prosedur sebelum perkara dapat diadili di Mahkamah Konstitusi sudah terpenuhi dan telah melalui tahap-tahap atau proses pemeriksaan di persidangan Mahkamah Konstitusi, seperti syarat-syarat dari pengajuan suatu permohonan perkara yang didaftarkan , baik itu syarat-syarat yang melekat pada diri para pihak maupun pada objek yang dimohonkan , sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Maka untuk selanjutnya Penulis akan mencoba menjelaskan dan menguraikan satu per satu dari hal-hal yang perlu untuk disoroti lebih jauh lagi terkait penganalisaan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
1.      Isi / Bagian Putusan
Secara umum yang menjadi Isi atau Bagian dari suatu Putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi :
a.       Kepala Putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.      Identitas para pihak;
c.       Ringkasan permohonan;
d.      Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e.       Pertimbangan hukum yang menjadi dasar Putusan;
f.        Amar putusan;
g.       Hari, tanggal putusan, nama Hakim Konstitusi, dan Panitera.
Menurut hemat Penulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait pengujian UU Nomor 22 Tahun 2009 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan sudah memenuhi syarat dari Isi atau Bagian-bagian yang harus termuat dalam suatu Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU MK tersebut di atas.


2.      Kompetensi Mengadili
Perkara yang diajukan oleh Pihak Pemohon Saipul Jamil ke Mahkamah Konstitusi, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 10 UU MK, maka perkara yang diajukan tersebut adalah termasuk kedalam salah satu dari wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi hal tersebut belumlah serta merta menunjukkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena selain dari pada itu yang perlu diperhatikan  dalam pengujian UU terhadap UUD 1945, juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 UU MK bahwa “ Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945”.
Jika dilihat dan dibandingkan antara tahun perubahan terakhir UUD 1945 dengan tahun diundangkannya Undang-undang yang diajukan untuk di uji di Mahkamah Konstitusi yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009, maka UU yang diujikan oleh Pemohon Saipul Jamil ke MK sudah memenuhi ketentuan dari Pasal 50 UU MK tersebut, karena UU tersebut dibuat dan disahkan setelah terjadinya perubahan UUD 1945.
3.      Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemohon yang dapat mengajukan permohonan perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang.
Dalam hal ini yang dikatakan hak dan kewenangan konstitusinya dirugikan oleh Undang-undang adalah sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/25 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor II/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 adalah bahwasanya kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dalam contoh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 dimana Saipul Jamil sebagai Pihak Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkaranya ke Peradilan Mahkamah Konstitusi.
4.      Pertimbangan Hukum
Secara garis besar pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 terkait pengujian Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 terhadap UUD 1945 tersebut Penulis sependapat dengan dengan pertimbangan tersebut.
Namun, disamping itu masih ada pendapat Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum terhadap perkara tersebut yang menurut Penulis masih kurang tepat, ialah yang mana salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terkait frasa ” kelalaiannya” yang diartikan bahwasanya dalam Pasal 28 G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak melarang Negara melalui Undang-undang menjatuhkan pidana terhadap orang yang nyata-nyata lalai.
Akibat pertimbangan Majelis Hakim tersebut, Pemohon tetap merupakan Subjek hukum yang termasuk kedalam kategori “lalai”, yaitu lalai dalam mengendarai kendaraannya yang mengakibatkan meninggalnya istri Pemohon sendiri, yang menjerat pemohon dalam kasus pidana, yang merupakan perkara yang terpisah dengan permohonan perkara pemohon di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Penulis, seharusnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi harus memberikan penafsiran yang jelas atas frasa “kelalaian” dalam Pasal 310 UU Lalu Lintas ssebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon dalam pengajuan perkara di MK tersebut.
Karena Penulis beranggapan bahwa harus adanya kejelasan-kejelasan sebab-sebab “kelalaian” yaitu disamping kelalaian mengakibatkan dapat dipidananya seseorang, akan tetapi juga harus adanya suatu pertimbangan “pemaafan” dalam hal kelalaian tersebut, dan dalam hal ini meninggalnya seseorang dalam kecelakaan lalu lintas yang dimana pengendaranya sendiri memiliki hubungan keluarga dengannya. Seharusnya untuk hal tersebut Majelis Hakim memberikan penafsiran suatu perbuatan yang diluar kehendak orang yang bersangkutan.
Oleh karena itu frasa “kelalaiannya” tersebut tidak tepat jika ditujukan untuk kasus yang menimpanya (Saipul Jamil) tersebut.
5.      Amar Putusan
Setelah semua pemeriksaan di persidangan dilakukan, selanjutnya adalah tahap penjatuhan putusan akhir. Amar putusan adalah apa yang diputuskan secara final oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah dilakukannya pemeriksaan perkara di persidangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang Mahkamah Konstitusi, bentuk-bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi dapat berupa :
a.       Menyatakan permohonan tidak dapat diterima,jika dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU MK.
b.      Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
c.       Menyatakan permohonan dikabulkan, jika dalam hal pembentukan Undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d.      Menyatakan permohonan ditolak, jika dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagaian atau keseluruhan.
 Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-X/2012 yang menjadi Amar Putusan/Putusan akhir Majelis Hakim terhadap perkara yang diajukan Pemohon sebagaimana yang telah diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim tanggal 8 Agustus 2012, yaitu mengadili “MENYATAKAN MENOLAK PERMOHONAN UNTUK SELURUHNYA”
Dengan dinyatakannya permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperkarakan oleh Pemohon akan tetap berlaku, dimana dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwasanya Undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang dijadikan acuan oleh Pemohon dalam mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi.

43 komentar:

  1. mohon ijin copas ya kak.. untuk dilihat sebagai contoh cara nulis analisis putusan MK... untuk tugas kuliah :) ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa...silahkan,,terima kasih sudah memanfaatkannya sbgmna mestinya... :)

      Hapus
    2. Izin copas mbak tugas UAS skrng di kumpul

      Hapus
  2. inspired!!
    kebetulan saya dapat tugas untuk menganalisis putusan MK Latvia, bingung mau mulai dari mana
    but then i found this!
    thank you so much
    salam kenal dari palembang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. :) :)

      terima kasih kembali,,,tulisan ini sudah bermanfaat dan dimanfaatkan dg baik,,,

      mmm...mungkin masih banyak kekurangan ditulisan ini,,,semoga dengan adanya tulisan ini kamu bisa melakukan analisis lbih baik lagi,,,memperbaiki/menambahkan kekurangannya dianalisismu...

      *analisis putusan MK Latvia?!!!!!
      wooowww!!!!amazing!!!
      tugasnya berkualitas sekali!!!!
      Semoga sukses

      #salam kenal kembali dari jambi kawandd :) :)

      Hapus
  3. mohon ijin copas
    sama seperti rekan dinary
    sebagai acua untuk tugas mata kuliah MK

    BalasHapus
  4. mohon izin CoPas y mbak ..
    untuk kerangka acuan saya ..
    ilmu ny sangat bermanfaat bagi saya mbak .. :-)

    BalasHapus
  5. mohon ijin untuk keperluan tugas ya
    makasih atas tulisannya
    saat membantu saya

    BalasHapus
  6. mohon ijin copass sebagai contoh menganalisis suatu putusan

    BalasHapus
  7. Mohon ijin copas mbak,untuk acuan menganalisis sebuah keputusan

    BalasHapus
  8. Minta izinnya ya kak untuk mempelajari analisis ini sebagai refrensi saya menganalisis putusan MK yang lain, terima kasih :)

    BalasHapus
  9. ijin copas ya mbak, buat ngerjain tugas analisis putusan

    BalasHapus
  10. mohon ijin copas mbak, buat tugas kuliah hari ini di kumpulin. hehehe...

    BalasHapus
  11. izin copas struktur penulisan analisis putusan mk. sebelumnya terima kasih.

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. ijin copas ya mbak, buat mata kuliah mk

    BalasHapus
  14. Mohon izin copas, mbk. untuk contoh kerangka analisis. Untuk tugas kuliah. Terimakasih

    BalasHapus
  15. izin copas sama dengan yg lain mbk

    BalasHapus
  16. Izin copas sebagai refrensi kak

    BalasHapus
  17. ijin copas ya mbak, untuk meniru format analisis putusannya :)

    BalasHapus
  18. ijin pakai ya min buat studi ilmu hukum

    BalasHapus
  19. Ijin copas ya mbak, untuk referensi matkul ...

    BalasHapus
  20. izin untuk referensi matkul hukum perdata

    BalasHapus
  21. Ijin copas. Buat pembelajaran ngebuat analisi

    BalasHapus
  22. Izin copas formatnya ya mbak lg selesaiin tugas analisis putusan MK tentang pemda

    BalasHapus
  23. ka mohon ijin copas. makasihh:))

    BalasHapus
  24. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  25. Mohon izin copas yaa untuk tugas kuliah, terimakasih!❤️

    BalasHapus
  26. ijin copas ya mbak buat acuan format analisisnya untuk tugas kuliah
    makasih!

    BalasHapus
  27. ijin copas ya buat acuan tugas kuliahh. makasii

    BalasHapus
  28. Izin copas Mbak untuk tugas UAS, terima kasih.😊

    BalasHapus
  29. Mohon izin copas ya Mbak buat acuan tugas uas kuliah 🙏😊

    BalasHapus
  30. Ijin copass mbaak.. Terima kasih seblmnya

    BalasHapus