Kamis, 18 April 2013

ANALISIS UNDANG-UNDANG PERADILAN ANAK



ANALISIS

PASAL 29 DAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG

PERADILAN ANAK
 By : Anneka Saldian Mardhiah


Sumber : 'Mbah Google

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

1.      Pasal 29 UU No.3 Tahun 1997
Anak nakal yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin,yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara keseluruhan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang terdiri atas 9 (sembilan) ayat adalah mengatur tentang pidana bersyarat bagi anak nakal. Aturan dalam Pasal 29 UU No 3 Tahun 1997 ini merupakan aturan khusus yang mengenyampingkan aturan umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan kata lain hal ini sesuai dengan prinsip atau azas Lex Specialis Derogat Lege Generalis ialah dimana aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum. Di dalam KUHP pengaturan terkait pidana bersyarat di atur dalam Pasal 14a hingga Pasal 14f.
Dengan adanya ketentuan khusus untuk anak nakal tersebut di dalam UU No 3 Tahun 1997 tentunya diharapakan akan lebih memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan bagi anak tersebut, akan tetapi jika dilihat, dicermati, dan dibandingkan dengan ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu dimana ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih memberikan perlindungan bagi orang dewasa dibandingkan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Beberapa kelemahan yang dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah :

a.       Pada pasal 29 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tersebut mengatur pidana bersyarat dikenakan hanya pada anak sebagai pelaku yang dijatuhkan putusan pidana penjara oleh Hakim Anak , dalam artian tidak dikenakan atau diberlakukan jika anak tersebut dikenakan pidana kurungan, denda, maupun pidana tambahan lainnya.
Padahal jika dilihat pada ketentuan Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terlihat jelas bahwasanya ketentuan dapat dikenakannya pidana bersyarat tidak hanya jika pelaku dikenakan pidana penjara ( Pasal 14a ayat (1) ), akan tetapi juga dapat diberlakukan ketika pelaku dikenakan pidana kurungan dan denda ( Pasal 14a ayat (2) ).
Dari perbedaan ketentuan di atas tergambar suatu keadaan dimana kesempatan bagi anak sebagai pelaku untuk memperoleh pidana bersyarat lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa yang memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh pidana bersyarat karena mengacu kepada aturan didalam KUHP. Hal tersebut menunjukkan adanya suatu diskriminatif, dimana seharusnya “anak” sebagai pelaku lah yang lebih besar mendapatkan kesempatan pidana bersyarat dibandingkan orang dewasa yang melakukan suatu tindak pidana. Maka secara langsung hal tersebut juga menunjukkan tidak terlaksananya Azas Kepentingan Terbaik Anak, ialah bahwasanya kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai Paramount Importance atau Prioritas Utama.
b.      Dalam Undang-undang atau rumusan Pasal tersebut maupun di dalam penjelasan pasalnya tidak memberikan kriteria atau parameter yang jelas untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi Hakim Anak untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak sebagai “pelaku”. Hal tersebut dapat berakibat kepada dasar pertimbangan para Hakim Anak yang berbeda-beda dalam menjatuhkan pidana bersyarat untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak, karena hal tersebut hanya merupakan kewenangan dari Hakim Anak itu sendiri. Padahal jika ada kriteria-kriteria yang jelas maka Keputusan Hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, korban, terutama kepada anak yang divonis oleh Hakim tersebut.

2.      Pasal 30 UU No.3 Tahun 1997
Pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tersebut mengatur terkait Pidana Pengawasan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana. Pidana pengawasan merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut yang diterapkan untuk perkara-perkara pidana anak.
Pidana Pengawasan menurut Undang-undang ini adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Di dalam Pasal ini juga menunjukkan adanya kelemahan dari pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tersebut, ialah diamana tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai aturan pelaksanaan dari pidana pengawasan tersebut, sehingga hal ini dapat berdampak kepada kinerja daripada aparat penegak hukum dalam praktek pelaksanaan daripada aturan perundangan-undangan tersebut. Kemudian daripada itu diharapkan agar dengan adanya pidana pengawasan trsebut kemerdekaan atau kebebasan anak dalam hal-hal ang menjadi ak-hak nya tidak terbelenggu dengan adanya pengawasan tersebut.

Referensi :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

4 komentar:

  1. Ijin gan., sya copas buat acuan + landasan makalah ane.,
    smoga dpat menjadi landasan yang tepat. makasih.

    BalasHapus
  2. izin mau copas ya buat tugas

    BalasHapus
  3. Mohon ijin copas untuk tugas.....terima kasih sebelumnya

    BalasHapus
  4. meminta ijin copas kepada penulis untuk referesi untuk tugas makalah.terima kasih.

    BalasHapus