"LANDAS KONTINEN"
Oleh :
Anneka Saldian Mardhiah
M Zainul Arifin
Saputra
Sumber : 'Mbah Google
NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
Tapi
hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)
BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP
PLAGIAT!!
@hak cipta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada taraf integrasi masyarakat dunia saat ini,
masyarakat-masyarakat sudah terorganisir dalam suatu satuan-satuan politik yang
bebas satu dari yang lainnya sebagai Negara yang berdaulat, dimana
masing-masing Negara tersebut mempunyai Pemerintah sendiri, penduduk, dan
wilayah. Sehingga kekuatan dari tindakan politik suatu Negara merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum laut.
“Pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi tentang
hukum laut tumbuh dan berkembang melalui adanya hukum kebiasaan internasional,
suatu pemikiran-pemikiran yang masih sangat sederhana terkait bagaimana dengan
penggunaan dan pemanfaatan laut, karena hukum internasional akan dapat menjadi
hukum yang lebih efektif dan dapat diterima masyarakat internasional, apabila
dapat memberi manfaat bersama untuk Negara-negara. Untuk mengamati perkembangan
dan pembentukan hukum laut maka diperlukan suatu penelitian dan analisis atas
kepentingan-kepentingan yang mendasari sikap-sikap Negara sebagai anggota atau
bagian dari masyarakat internasional”. [1]
Negara-negara yang sedang berkembang akan berusaha
melakukan penguasaan atas laut guna perluasan yurisdiksi untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya, apalagi kemajuan teknologi yang semakin maju mendorong
adanya keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang akan dapat memberikan
keuntungan bagi suatu negara. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan
keinginan-keinginan dan mengatur kepentingan-kepentingan Negara-negara internasional
agar tidak terjadi tumpang tindih antar kepentingan tersebut maka diadakanlah konvensi-konvensi
hukum laut internasional, dimana terakhir telah berhasil dilaksanakannya
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)1982 yang telah
menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) III, yang diantaranya mengatur terkait batas-batas maritim meliputi
batas-batas laut territorial (Territorial Sea), Zona Ekonomi Eksklusif
(Economic Exclusive Zone), dan begitu juga dengan batas-batas Landas Kontinen
(Continental Shelf) yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan dalam penulisan
ini.
Pada awalnya landas kontinen hanya memiliki pengertian
geografis dan geologis saja. Secara geografis dan geologis Landas Kontinen
diartikan sebagai plate-form atau daerah
dasar laut yang terletak antara dasar laut dangkal dan dan titik dimana dasar
laut menurun secara tajam atau terjal, yang dinamakan lereng kontinen.
Salah satu Negara yang telah mengesahkan Konvensi
Hukum Laut 1982 tersebut adalah Indonesia.
Indonesia
merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang sudah diakui secara
internasional. Negara yang terdiri dari 17.504 pulau dengan luas total wilayah
7,9 Juta Kilometer Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi
daratan dan 5,8 Juta Kilometer Persegi berupa Lautan. Dengan kata lain luas
wilayah laut Indonesia
adalah tiga kali luas wilayah daratannya. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah
Pemerintah Indonesia perlu memberikan perhatian khusus dalam hal penetuan
batas-batas maritim dengan Negara-negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia,terlebih lagi yang berhubungan dengan Batas Landas Kontinen karena
hal ini menyangkut pengamanan, pencadangan, dan pemanfaatan daripada
sumber-sumber kekayaan mineral dasar laut dan tanah di bawahnya, seperti pengaturan
batas-batas maritim Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Thailand, India,
Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.
Berdasarkan
hal tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan batas-batas maritim
suatu Negara dalam hukum laut internasional terkhususnya pengaturan mengenai
Landas Kontinen, maka Penulis merasa tertarik untuk mengangakat perihal landas
kontinen dalam sebuah makalah dengan judul “LANDAS KONTINEN”
B. Rumusan Masalah
Dilandasi
latar belakang masalah tersebut di atas serta agar tidak terjadi kerancuan
dalam pembahasan makalah nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan
rumusannya yaitu:
1.
Bagaimanakah sejarah dan pengertin daripada Landas
Kontinen ?
2.
Apakah Yurisdiksi, Hak dan Kewajiban Negara Pantai Pada
Landas Kontinen ?
- Bagaimanakah Batas Landas Kontinen dan Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Indonesia ?
4.
Apakah bentuk contoh kasus yang berkaitan dengan Landas
Kontinen?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mendeskripsikan sejarah dan pengertian daripada
Landas Kontinen.
2.
Untuk mengetahui Yurisdiksi, Hak, dan Kewajiban Negara
Pantai pada Landas Kontinennya.
3.
Untuk mengetahui batas landas kontinen dan penetapan
garis batas landas kontinen Indonesia.
4.
Untuk mendeskripsikan bentuk contoh kasus yang
berkaitan dengan Landas Kontinen.
D. Manfaat Penulisan
1.
Secara teoritis berguna untuk menambah wawasan mengenai
Landas Kontinen; yaitu dimulai dari sejarah, defenisi, garis batas Landas
Kontinen, hingga sampai kepada contoh kasus yang berkaitan dengan Landas
Kontinen itu sendiri. Sehingga dapat memberikan pandangan yang luas akan
pentingnya pemanfaatan daripada wilayah laut Landas Kontinen.
2.
Secara praktis penulisan ini diharapkan akan dapat
bermanfaat bagi para Pelajar, Mahasiswa, Pengajar, Pemerintah pada khususnya serta
bagi masyarakat pada umumnya terkait pemahaman mengenai Landas Kontinen.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Pengertian Landas Kontinen
Berkembangnya lapangan hukum laut dalam hal Landas
Kontinen erat kaitannya dengan bertambah majunya teknologi, teknik penggalian
kekayaan alam terutama minyak bumi, yang dalam perkembangannya memungkinkan
eksplorasi dan eksploitasi tidak hanya di daratan tapi juga di dalam tanah di
bawah dasar laut.
Landas Kontinen dapat dikatakan sebagai perkembangan
baru pasca Perang Dunia II.
Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja menyebutkan bahwa, “ Diantara faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan dalam hukum laut internasional setelah akhir
Perang Dunia ke- II dapat dikemukakan tiga faktor yang terpenting sebagai
berikut:
Sebagai faktor Pertama dapat disebut banyaknya jumlah Negara yang menjadi
merdeka sehingga mengakibatkan perubahan peta bumi politik yang tidak kecil di
dalam dunia setelah Perang Dunia ke- II. Faktor
Kedua adalah kemajuan teknologi sebagai akibat samping atau tambahan
daripada kemajuan-kemajuan dalam teknologi yang terjadi dengan pesatnya selama
Perang Dunia ke- II. Faktor Ketiga
adalah tambahan bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan
alam, baik kekayaan hayati ( Living
Resources ) maupun kekayaan mineral termasuk minyak bumi dan gas. “ [2]
Berbicara mengenai pranata hukum laut, khususnya
tentang Landas Kontinen, pertama kalinya berawal dari adanya Proklamasi
Presiden Amerika Serikat Harry S Truman pada tanggal 28 September 1945 yang
didasarkan pada tindakan penguasaan sepihak, ialah dengan tujuan memanfaatkan,
mengamankan, dan mencadangkan kekayaan mineral dasar laut (seabed) dan tanah di
bawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan
rakyat dan bangsa Amerika Serikat.
“Di dalam pertimbangannya Proklamasi Trauman tersebut
di atas antara lain menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru
daripada minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia jangka
panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya.”[3]
Proklamasi Trauman tahun 1945 tersebut menjadi titik tolak yang menciptakan
suatu perkembangan baru dan mengakibatkan suatu perubahan yang besar dalam
hukum laut internasional.
Tindakan pemerintah Amerika Serikat terkait dataran
kontinen (Continental Shelf) ini didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi
minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari dataran kontinen di luar batas 3
mil mengandung endapan-endapan minyak bumi yang sangat berharga yang memungkinkan
untuk mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut
(submarine area).
Proklamasi Trauman Tahun 1945 tersebut tidak
menimbulkan protes dari Negara-negara lain, bahkan sejak tindakan Amerika
Serikat yang hanya didasarkan pada pernyataan-pernyataan sepihak terkait
masalah Landas Kontinen berkembang dan mendapat perhatian dari Negara-negara
Amerika Latin yang justru mengikuti jejak dan langkah dari Amerika Serikat
tersebut, diantaranya seperti Chili, Equador, dan Peru tepatnya pada Deklarasi
Santiago 18 Agustus 1952, dimana ketiga Negara tersebut mengklaim bahwa area
lautan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya dalam jarak 200 mil laut dari
pantainya berada di bawah kedaulatannya.
Pada perkembangan berikutnya Negara-negara internasionalpun
kembali membicarakan pengaturan hukum mengenai Landas Kontinen dalam Konvensi
Jenewa 1958 atau disebut juga dengan Konvensi Hukum Laut 1958, diadakan oleh
Internasional Law Commission yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB), yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara. Pasal 1 Konvensi Jenewa
1958 berbunyi :
“For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used
as refering (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to
the coast but autside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres
or beyond that limit, to where the superjecent waters admits of the
exploitation of the natural resources of the said areas to seabed and subsoli
of similar submarine areas adjacent to the coast of islands”.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Landas Kontinen
adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai tetapi
di luar laut teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter atau lebih sepanjang
dalamnya air laut di atasnya masih memungkinkan untuk dapat mengeksplorasinya
dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam. Artinya, Landas Kontinen merupakan
kedaulatan Negara pantai sampai di kedalaman 200 meter atau di luar batas itu
sampai di kedalam air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam dari
daerah tersebut, serta hak Negara pantai atas Landas Kontinen tidak bergantung
pada pendudukan atau proklamasi yang diumumkan, sehingga dapat diartikan bahwa
tidak ada Negara lain yang dapat melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan
alam pada Landas Kontinen suatu Negara pantai tanpa adanya persetujuan dari
Negara pantai tersebut.
Beberapa tahun setelah dilaksanakannya Konvensi Jenewa
1958, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1982 menentukan untuk
mengadakan Konvensi Hukum Laut 1982, yang merupakan puncak karya dari
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang hukum laut, yang dijadikan sebagai
penyempurnaan daripada Konvensi Jenewa 1958, Konvensi yang disetujui di Montego
Bay – Jamaica yang membicarakan pengaturan lebih lanjut daripada Landas
Kontinen.
Gambar.1.
Landas Kontinen
Sumber : Google.com
Pada Konvensi Hukum Laut 1982 atau yang lebih dikenal
dengan United Nations Convention on the
Law of the Sea III (UNCLOS III), Pasal 76 angka 1 menyebutkan bahwa Landas
Kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi
kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana
lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak
mencapai jarak tersebut.
Di
Indonesia sendiri Landas Kontinen mendapat perhatian lebih ialah sekitar Tahun
1969, dimana Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman tertanggal 17
Februari 1969 dengan memuat pokok-pokok sebagai berikut :
1)
Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam Landas
Kontinen Indonesia adalah
milik eksklusif Negara Indonesia;
2)
Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan
soal garis batas Landas Kontinen dengan Negara tetangga melalui perundingan;
3)
Jika tiada perjanjian garis batas, maka batas Landas
Kontinen Indonesia adalah
suatu garis yang ditarik ditengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar
wilayah Negara tetangga;
4) Klaim
di atas tidak mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas Landas
Kontinen Indonesia,
maupun ruang udara di atasnya. [4]
Pengumuman tersebut dianggap sebagai dasar kebijakan
untuk membuat perjanjian-perjanjian bilateral dengan Negara-negara tetangga,
hal tersebut ditunjukkan dengan untuk pertama kalinya Indonesia melakukan perjanjian
garis batas Landas Kontinen dengan Malaysia di Tahun 1969, yang kemudian
disusul oleh perjanjian-perjanjian bilateral lainnya . Pengumuman yang disampaikan
Indonesia di Tahun 1969 tersebut dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1973.
Yang disebut dengan Landas Kontinen Indonesia
berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1973 adalah meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar
tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari
mana lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen
tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampaidengan
jarak 100 mil laut dari garis kedalaman.
B. Yurisdiksi, Hak dan Kewajiban Negara Pantai
Pada Landas Kontinen
1.Yurisdiksi Eksklusif Negara
Pantai
Yurisdiksi
eksklusif ini muncul didorong oleh keinginan dan kemampuan Negara-negara untuk
mengeksplorasi dasar laut dan tanah dibawahnya serta mengeksploatasi sumber
daya alamnya sebagai akibat dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi ( kelautan ). Dimana yang pada awalnya Negara–negara melakukan klaim
sepihak untuk membenarkan tindakannya mengeksplorasi dasar laut dan tanah
dibawahnya serta mengeksplorasi sumber daya alam yang terkandung didalamnaya.
Pada Pasal
77 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 merumuskan bahwa Negara pantai melaksanakan
hak berdaulat (soverign right) pada landasan kontinennya untuk tujuan mengeksplorasinya
serta mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya. Selanjutnya pada Pasal 77 ayat 2
konvensi tersebut merumuskan bahwa hak-hak seperti pada ayat 1 tersebut adalah
bersifat eksklusif dalam pengertian bahwa jika Negara pantai tidak
mengeksplorasinya maupun mengeksploitasi sumberdaya alamnya, tidak ada seorang
atau suatu Negara pun dapat melakukan aktivitasnya itu atau melakukan klaim
atas landasan kontinen tersebut tanpa persetujauan dari Negara pantai .
Dalam kovensi hukum
laut 1982 ,walaupun isi dan ruanglingkup landas kontinen ini sudah semakin
tegas dengan batas-batasnya, namun hak atau kewenagan atau yurisdiksi Negara
pantai atas landas kontinennya maupun atas sumber daya alamnya yang terkandung
didalamnya tetaplah yurisdiksi eksklusif. [5]
Negara lain yang hendak melakukan kegiatan
serupa pada landasan kontingen haruslah mendapatkan izin terlebih dahulu atau
persetujauan dari Negara pantai yang memiliki yurisdiksi eksklusif tersebut. Perlu
ditegaskan bahwa Negara pantai tidak memiliki kedaulatan penuh atas landasan
kontinen, melainkan hanya memiliki hak berdaulat yang sifatnya eklusif yang
terbatas pada hal-hal tertentu saja.
2.
Hak Negara Pantai
Atas dasar yurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Negara pantai atas
Landas Kontinen di atas, maka Negara pantai pun memiliki hak-hak atas Landas
Kontinennya, diantaranya ialah :
a.
Hak eksplorasi dan eksploitasi
b.
Hak untuk memasang kabel dan pipa saluran
Hak memasang kabel dan pipa laut dilandas kontinen diatur dalam Pasal 79 UNCLOS
1982 ,yaitu:
1)
Semua Negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa
bawah laut di atas landas kontinen sesuai dengan ketentuan pasal ini.
2)
Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang
patut untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengekploitasi sumber kekayaan
alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang
berasal dari pipa, Negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau
pemeliharaan kabel atau pipa demikian.
3)
Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut demikian
di atas landas kontinen harus mendapat persetujuan Negara pantai.
4)
Tidak satupun ketentuan dalam Bab ini mempengaruhi hak
Negara pantai untuk menetapkan persyaratan bagi kabel atau pipa yang memasuki
wilayah atau laut teritorialnya, atau mempengaruhi yurisdiksi negara pantai
atas kabel dan pipa yang dipasang atau dipakai bertalian dengan eksplorasi
landas kontinennya atau eksploitasi sumber kekayaan alamnya atau operasi pulau
buatan, instalasi dan bangunan yang ada di bawah yurisdiksinya.
5)
Apabila memasang kabel atau pipa bawah laut,
Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya kabel atau pipa yang
sudah ada. Khususnya, kemungkinan untuk perbaikan kabel dan pipa yang sudah ada
tidak boleh dirugikan.
c.
Hak memberikan wewenang melakukan pengeboran pada
Landasan Kontinen.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 81 UNCLOS 1982, yaitu bahwasanya negara
pantai mempunyai hak eklusif untuk mengizinkan dan mengatur pemboran dilandas
kontinen untuk segala keperluan
d.
Hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan,
instalasi- instalasi dan bangunan.
Mengenai Hak Negara
pantai atas hak yang satu ini diatur dalam Pasal 80 UNCLOS 1982 dan lebih
lanjut juga dijelaskan pada Pasal 60 Konvensi tersebut, ialah bahwa mengenai
pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif
berlaku secara mutatis mutandis di landas kontinen. Hak tersebut dinyatakan
sebagai hak eksklusif negara pantai. Termasuk kedalam hak-hak ini, yaitu
yuridiksi (kewenangan) yang berkaitan dengan perundang-undangan bea cukai dan
fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
3.Kewajiban Negara Pantai
Dengan adanya hak yang dimiliki oleh Negara panatai atas Landas Kontinen
maka tentunya juga akan diiringi dengan adanya kewajiban, diantara kewajiban
Negara panatai atas Landas Kontinennya adalah :
a.
Kewajiban untuk melakukan pembayaran atau sumbangan.
Mengenai kewajiban ini diatur dalam Pasal 82 UNCLOS 1982, yaitu dapat
diberlakukan ketika negara pantai mengeksploitasi sumber kekayaan alam non
hayati landas kontinen di luar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal untuk
mengukur luas laut teritorial.
b.
Kewajiban untuk menetapkan batas/delimitasi landas
kontinen.
Kewajiban
ini timbul ketika pantai dari suatu Negara berhadapan atau berdampingan dengan
pantai Negara lainnya. Bagi negara-negara yang landas kontinennya berhadapan
dan atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinennya harus
ditetapkan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu
penyelesaian yang adil. Untuk mencapai keadilan ini Konvensi memberikan pedoman
persetujuan penetapan garis batas tersebut harus dilandasi oleh pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, yang secara umum diakui sebagai sumber hukum
internasional.
c.
Kewajiban untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan
pencemaran lingkungan laut.
Pencemaran lingkungan laut yang
disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen dapat terjadi dengan berbagai cara
seperti kebocoran yang berasal dari pipa, pipa saluran dari dan ke pantai dan
tabrakan antara kapal-kapal dan instalasi-instalasi pengeboran di landas
kontinen akibat tidak adanya atau kurangnya tanda penerangan pada
instalasi-instalasi tersebut. [6]
Sehubungan dengan hal
tersebut, negara pantai berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk
mengurangi sejauh mungkin terjadinya pencemaran lingkungan laut sebagaimana
yang telah diatur lebih lanjut pada Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982.
4.Hak dan Kewajiban Negara lain
pada Landas Kontinen
a.
Kebebasan berlayar dan penerbangan
Dalam melaksanakan hak-hak eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen
negara pantai tetap menjamin hak negara lain dalam melakukan pelayaran dan
penerbangan di perairan diatas landas kontinen dan udara diatasnya. Hal ini
bermakna bahwasanya tanpa suatu alasan yang jelas negara pantai tidak boleh
menghalang-halangi pelayaran dan penerbangan yang dilakukan oleh kapal atau
pesawat asing tersebut. Oleh sebab itu maka untuk kepentingan pelayaran dan
penerbangan ini negara asing berkewajiban untuk mentaati peraturan-peraturan
yang dibuat oleh negara pantai .
b.
Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut
Disamping adanya hak negara lain untuk memasang kabel dan pipa di bawah
laut tentu adanya suatu kewajiban, ialah dimana negara lain berkewajiban
mematuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan negara pantai, seperti
penentuan jalannya pipa harus mendapat persetujuan negara pantai. Dan dalam
pemasangan kabel dan pipa bawah laut ini harus memperhatikan sebagaimana
mestinya kabel-kabel atau pipa-pipa yang sudah ada,agar kemungkinan untuk
perbaikan kabel-kabel dan pipa yang sudah ada tidak boleh dirugikan (Pasal 79
ayat 5 UNCLOS 1982)
c.
Hak untuk menangkap ikan
Dengan
diterimanya konsepsi landas kontinen dalam konverensi Hukum Laut PBB III, maka
kebebasan penangkapan ikan di perairan diatas landas kontinen sejauh 200 mil
sudah tidak ada lagi karena perairan 200 mil ini sudah menjadi perairan zona
ekonomi eksklusif, oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum zona
ekonomi eksklusif. Negara lain dapat melakukan penangkapan ikan di perairan
berdasarkan perjanjian yang dibuat antara negara pantai dengan negara lain
tersebut. Berbeda dengan perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil,
perairan ini merupakan perairan laut lepas oleh karena itu pengaturannya tunduk
pada rejim hukum laut lepas. Sesuai dengan status perairan itu sebagai laut
lepas, maka semua negara bebas untuk melakukan penangkapan ikan sesuai dengan
ketentuan konvensi.
d.
Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah
Pasal 246 Konvensi
Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa Dalam melaksanakan yurisdiksinya Negara
pantai memiliki hak untuk mengatur, mengizinkan dan menyelenggarakan riset
ilmiah kelautan dalam Landas Kontinen, sehingga oleh karena itu ketika Negara
lain akan melakukan Riset ilmiah di Landas Kontinen maka terlebih dahulu harus
meminta izin kepada Negara pantai yang bersangkutan. [7]
C. Batas Landas Kontinen dan Penetapan Garis
Batas Landas Kontinen
1. Berdasarkan Konvensi Jenewa
1958.
Ketentuan mengenai batasan dari Landas Kontinen jika
didasarkan pada Konvensi Jenewa 1958 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1,
yaitu “dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai tetapi
diluar laut teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang
dalamnya air laut di atasnya masih memungkin kan untuk dapat mengekplorasi-nya
dan mengekploitasi sumber-sumber daya alamnya”.
Sedangkan ketentuan mengenai penetapan Garis Batas
Landas Kontinen, dapat dilihat dari rumusan Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958
tersebut, yaitu :
a.
Dalam hal landas kontinen bersambung ke wilayah dua
atau lebih negara lain yang pantainya saling berhadapan, batas dari landas
kontinen ditentukan melalui suatu perjanjian internasional.
b.
Apabila perjanjian seperti itu tidak ada maka garis
batas biasanya adalah garis tengah
2. Berdasarkan Konvensi Hukum
Laut PBB 1982.
Ketentuan mengenai batasan dari Landas Kontinen jika
didasarkan pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
76, yaitu “Pantai meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah dibawah
permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan
alamiah hingga daratannya hingga pinggiran luar kontinen, atau hingga suatu
jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorialnya diukur”.
Dan lebih lanjut ayat (2) nya menyebutkan bahwa “Landas Kontinen suatu negara
pantai tidak boleh melebihi dari batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat
4 hingga ayat 6”.
Sedangkan ketentuan mengenai penetapan Garis Batas Landas
Kontinen berdasarkan Konvensi ini adalah :
a.
Batas Landas Kontinen dari Negara-negara yang pantainya
saling berhadapan atau bersambung, dilakukan dengan perjanjian atas dasar hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
(Pasal 83 ayat (1)), yaitu :
1)
Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat
umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas
oleh negara-negara yang bersengketa;
2)
Keebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari
suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum
3)
Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab;
4) Keputusan
pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum
b.
Apabila tidak dicapai persetujuan, harus digunakan
prosedur dalam Bab XV tentang Penyelesaian sengketa. (Pasal 83 ayat (2)).
Gambar.
2. Batas Wilayah Laut Indonesia
Sumber : Google.com
3.Pengaturan Garis Batas Landas
Kontinen Indonesia
dengan Negara-negara tetangga.
Sebagaimana yang telah dijabarkan pada pembahasan
sebelumnya, dapat diketahui bahwasanya setelah sepakatinya mengenai peraturan
hukum laut pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982, sebagai bentuk tindak lanjutnya, Negara
Indonesia yang merupakan Negara yang merdeka dan berdaulat mengeluarkan pengumuman
terkait Landas Kontinen Indonesia kepada Negara-negara di dunia sekitar Tahun
1969 yang dikukuhkan dengan dibuat dan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, maka semenjak itulah mulai diadakannya
kesepakatan atau perjanjian-perjanjian terkait pengaturan Garis Batas Landas
Kontinen dengan Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
Diantara beberapa perjanjian yang pernah dilakukan Indonesia
dengan Negara tetangga untuk kejelasan pengaturan atau penetapan Garis batas
Landas Kontinen diantaranya adalah :
a.
Indonesia
– Malaysia
Untuk pertama kalinya Indonesia
melakukan perjanjian batas Landas Kontinen adalah dengan Malaysia. Kedua belah pihak
bersepakat, pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian
antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas
Kontinental Indonesia – Malaysia kedua negara masing-masing melakukan
ratifikasi pada 7 November 1969.
Batas wilayah antara Indonesia
dan Malaysia
ditarik dari dekat Singapura dan berakhir di dekat Pulau Batu Mandi di Selat
Malaka. Artinya tidak ada batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi
ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada hanyalah batas landas kontinen
yang ditetapkan pada tahun 1969. Namun sampai sekarang ini masih ada dari
batas-batas Landas Kontinen Indonesia
– Malaysia
yang masih belum jelas kepastiannya akibat klaim masing-masing Negara atas
wilayahnya.
b.
Indonesia
– Singapura
Batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura ditentukan
atas dasar hukum internasional. Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB
Tentang batas wilayah laut (The United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) pada 1982. Kedua negara juga turut meratifikasi UNCLOS. Ratifikasi
dari batas wilayah laut yang disetujui ini merupakan kelanjutan dari perjanjian
batas wilayah laut yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara sebelumnya
pada 25 Mei 1973.
Perjanjian tersebut akan menentukan dasar hukum bagi
petugas berwenang kedua negara dalam menjaga keamanan, keselamatan navigasi,
penegakan hukum dan pengamanan atas zona maritim berdasarkan hukum yang
berlaku. Indonesia
dan Singapura masih harus menyelesaikan masalah perbatasan mereka di wilayah
timur antara Batam dan Changi dan lokasi diantara Bintan serta South Ledge,
Middle Rock dan Batu Puteh. Penyelesaian batas wilayah timur ini masih menunggu
negosiasi antara Singapura dan Malaysia
yang masih harus dilakukan usai Pengadilan Internasional memerintahkan
Singapura dan Malaysia
untuk melakukan perundingan.
c.
Indonesia
– Filipina
Proses perundingan batas maritim RI – Filipina yang
dilakukan sampai dengan tahun 2007 telah mencapai kemajuan yang signifikan
dengan dihasilkannya kesepakatan atas garis batas diantara kedua Tim Teknis
Perunding. Saat ini proses perundingan masih tertunda karena persoalan internal
di pihak Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act No. 9522 bulan Maret 2009,
yang berisikan perubahan dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal
(baseline) negara kepulauan Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam Republic
Act No. 3046 tahun 1961 dan Republic Act No. 5446 tahun 1968. Pada kesempatan
pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara RI-Filipina yang
diselenggarakan pada tanggal 8 Maret 2011, Menteri Luar Negeri kedua negara
telah menandatangani Joint Declaration between the Republic of Indonesia and
the Republic of the Philippines concerning Maritime Boundary Delimitation, yang
intinya:
1)
Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas maritim RI-Filipina sesuai dengan ketentuan
UNCLOS 1982;
2)
Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas
Maritim antara Republik Indonesia
dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang secepat mungkin
d.
Indonesia
– Thailand
Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara
terletak di Selat Malaka dan laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangai tanggal
17 Desember 1971, dan berlaku mulai 7 April 1972.
Jika ditinjau dari segi geografis, kemungkinan
timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks,
karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh,
RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua
titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut
Andaman.
e.
Indonesia
– Vietnam
Indonesia
dan Viet Nam
telah menyelesaikan perjanjian batas Landas Kontinen pada tahun 2003. Batas
landas kontinen antara Indonesia
– Vietnam
ditarik dari pulau besar ke pulau besar (main land to main land). Dalam
perjanjian tersebut Indonesia
berhasil meyakinkan Vietnam
untuk menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan demikian prinsip Indonesia
sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi.
f.
Indonesia
– Australia
Perairan
antara Indonesia dengan Australia
meliputi wilayah yang sangat luas,
terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan
P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia
dengan Australia
yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk
dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik
sebelum berlakunya UNCLOS 1982 maupun sesudahnya. Perjanjian yang telah
ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka
sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas
laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor
Leste – Australia.[8]
D. Contoh Kasus ( Sengketa Ambalat )
Gambar. 3. Lokasi
Ilustratif Blok Ambalat
Sumber : Google.com
Pada
bulan Februari 2005, hubungan Indonesia
dan Malaysia mengalami
ketegangan karena sengketa kepemilikan atas blok Ambalat, yaitu blok dasar laut
(Landas Kontinen) seluas 15.235 km2 yang berlokasi di sebelah timur Pulau
Borneo (Kalimantan). Ambalat memiliki keistimewaan yaitu memiliki
kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak.
Sengketa
ini muncul pada saat perusahaan minyak Malaysia, Petronas, memberikan
konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell pada tanggal 16 Februari
2005. Sementara itu, Indonesia
sudah memberikan konsesi untuk wilayah dasar laut yang sama kepada Unocal pada
tanggal 12 Desember 2004, Dengan kata lain, dalam perspektif Indonesia, Malaysia
telah mengklaim kawasan yang sebelumnya telah dikelola oleh Indonesia. Adanya tumpang tindih
pemberian konsesi inilah yang menjadi pemicu ketegangan antara kedua Negara,
khususnya hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan di Indonesia.
Pada
dasarnya Indonesia mengacu
pada UNCLOS, sementara Malaysia
bersikukuh pada peta yang disiapkannya tahun 1979. Peta 1979 adalah peta
sepihak Malaysia
yang tidak mendapat pengakuan dari negara tetangga dan dunia internasional.
Meski demikian, Pata 1979 tetap menjadi peta resmi yang berlaku di Malaysia
(setidaknya secara sepihak) bahkan hingga saat ini . Padahal Indonesia dan Malaysia sama-sama telah
meratifikasi/menjadi anggota UNCLOS. Indonesia
bahkan sudah menandatangani UNCLOS pada tahun 1985 melalui UU No. 17 Tahun 1985,
sedangkan Malaysia
melakukan ratifikasi pada tanggal 14 Oktober 1996 (United Nations, 2009). Ini
berarti bahwa Indonesia dan Malaysia
harus mengikuti ketentuan UNCLOS dalam melakukan klaim atas kawasan laut
seperti laut teritorial, ZEE dan landas kontinen. Artinya, dalam menyatakan hak
atas Ambalat pun kedua negara harus mengacu pada UNCLOS.
Ancaman
perbatasan yang dilakukan Malaysia
ini semakin diperparah saat Indonesia
kalah suara ketika International Court of
Justice (ICJ) menyatakan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan termasuk kedalam
wilayah kedaulatan Malaysia.
Diberikannya kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia oleh International Court of Justice pada
tahun 2002 melahirkan potensi berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia
dan Malaysia di sekitar Laut Sulawesi. Ada
kemungkinan bahwa Malaysia
akan menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal. Konsekuensinya,
wilayah laut yang bisa diklaim oleh Malaysia akan melebar ke bagian selatan
menuju Blok Ambalat. Hal inilah yang menjadi dasar pandangan bahwa Sipadan dan
Ligitan berpengaruh pada klaim Malaysia
atas Ambalat dan dapat membahayakan klaim Indonesia atas Ambalat. [9]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai
jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka
dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut.
1.
Perkembangan lapangan hukum laut dalam hal Landas
Kontinen erat kaitannya dengan bertambah majunya teknologi, teknik penggalian
kekayaan alam terutama minyak bumi. Yaitu dimulai dari adanya Proklamasi
Trauman oleh Presiden Amerika serikat Tahun 1945, Konvensi Hukum Laut 1958, dan
dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang dalam perkembangannya tersebut memiliki
pengertian/defenisinya masing-masing. Indonesia sebagai salah satu Negara
yang ikut meratifikasi konvensi tersebut juga telah mengesahkan dan
mengukuhkannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, salah satunya UU
No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen.
2.
Seiring perkembangannya pandangan masyarakat
internasional dalam hal yurisdiksi, hak, dan kewajiban Negara pantai di Landas
Kontinen juga mengalami penyempurnaan ke arah yang lebih memperhatikan
kepentingan-kepentingan dari Negara-negara dunia. Dimana semuanya itu ada
batasannya, sebagaimana yang telah diatur di dalam United Nations Convetion on the Law Of the Sea III (UNCLOS III).
3.
Secara umum batas landas kontinen sudah diatur di dalam
UNCLOS, namun dalam hal penetapan garis batas landas kontinen suatu Negara
dapat merealisasikannya dengan mengadakan perjanjian-perjanjian bilateral
dengan Negara-negara yang berbatasan langsung dengan garis batas landas
kontinennya sebagai upaya untuk menghindari terjadinya konflik perbatasan.
4.
Salah satu bentuk contoh kasus yang berkaitan erat
dengan Landas Kontinen dan sedang marak-maraknya terjadi pada saat ini serta
belum terselesaikan sampai sekarang adalah Kasus Ambalat, Blok dasar laut yang
dipersengketakan oleh Indonesia
dan Malaysia.
B. Saran
Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan
adanya kesempatan bagi penulis dalam penulisan ini, maka penulis mencoba
memberikan saran-saran yang kemungkinan ada gunanya bagi penulis sendiri, para
pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait pada khususnya. Adapun
saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut.
1.
Pemerintah suatu Negara, diharapkan agar lebih
memberikan perhatian khusus terhadap wilayah laut Landas Kontinen, agar lebih
memperhatikan secara seksama Penetapan Garis Batas Landas Kontinen, apalagi
dengan Negara yang berbatasan langsung dengan Negara tersebut.
2.
Khususnya untuk Pemerintah Negara Republik Indonesia diharapkan agar dapat lebih tegas lagi
dalam menyikapi klaim-klaim Negara tetangga terhadap klaim kedaulatan wilayah
laut Indonesia.
Salah satunya adalah dengan mempertegas pencantuman pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan Nasional. Selain itu mengenai Perbatasan Garis
Landas Kontinen agar lebih diperjelas dengan melakukan Perjanjian-perjanjian
bilateral dan melaporkannya secara berkala ke Komisi Batas Landas Kontinen,
dimana tujuannya adalah untuk menghindari konflik-konflik yang kemungkinan akan
dapat terjadi di masa yang akan datang jika tidak diantisipasi dari awal.
[6] http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1498,10,
diakses pada tangal 10 April 2013,
pukul 20.00 WIB.
pada tanggal 11 April
2013, pukul 11.03 WIB.
Maret 2013, pukul 05.45 WIB.
mohon ijin untuk dicopy sebagai tambahan bahan referensi.,.. makasih
BalasHapuskalo untuk tambahan referensi,,,yaa silahkan,,di izinkan...
Hapusterima kasih sudah manfaatin tulisan ini utk hal yg positif...
mba ijin copas ya :))
BalasHapusizin copy sedikit untuk referensi ya, membantu sekali. terima kasih :)
BalasHapusmaaf neng, ku copy tulisannya tuk menambah referensi'ku. makasih yah........
BalasHapusizin copy untuk nambahin refrensi yaa . terima kasih banyak dan sangat membantu
BalasHapusMaaf,..ijin Copy yach,Ibu Anneka Saldian Mardhiah,,,,
BalasHapusmakasih ya mbak atas ilmu nya, sangat berguna
BalasHapusterimakasih sangat membantu materinya untuk menjawab tugas
BalasHapusAlhamdulillah tulisan ini bs bermanfaat bt saudara, dan terima kasih sudah berkunjung ke blog saya ini.
Hapusizin copy Ibu Anneka.. terima kasih
BalasHapussemoga bermanfaat..
Hapusizin copy yah, bu,,, :)
BalasHapusizin copas yah kak,
BalasHapusuntuk tambahan referensi makalah hukum laut
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapussaya izin copas buat referensi ya mbak.
BalasHapustermikasih
Ijin Copy Paste ya mbak. Terima kasih
BalasHapusizin ya mbak untuk referensi, terimakasih
BalasHapusizin copy ya kak, buat referensi jga
BalasHapusizin copy ya kak, buat referensi jga
BalasHapus