ANALISIS
PASAL 29 DAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG
NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG
PERADILAN ANAK
By : Anneka Saldian Mardhiah
NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
Tapi
hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)
BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP
PLAGIAT!!
@hak cipta
1. Pasal 29 UU No.3 Tahun 1997
Anak nakal yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
adalah anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18
tahun dan belum pernah kawin,yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara keseluruhan rumusan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang terdiri atas 9 (sembilan) ayat adalah
mengatur tentang pidana bersyarat bagi anak nakal. Aturan dalam Pasal 29 UU No
3 Tahun 1997 ini merupakan aturan khusus yang mengenyampingkan aturan umum sebagaimana
yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan kata lain
hal ini sesuai dengan prinsip atau azas Lex
Specialis Derogat Lege Generalis ialah dimana aturan yang khusus
mengenyampingkan aturan yang umum. Di dalam KUHP pengaturan terkait pidana
bersyarat di atur dalam Pasal 14a hingga Pasal 14f.
Dengan adanya ketentuan khusus untuk anak nakal
tersebut di dalam UU No 3 Tahun 1997 tentunya diharapakan akan lebih memberikan
jaminan kesejahteraan dan perlindungan bagi anak tersebut, akan tetapi jika
dilihat, dicermati, dan dibandingkan dengan ketentuan pidana bersyarat dalam
KUHP maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu dimana ketentuan pidana
bersyarat dalam KUHP lebih memberikan perlindungan bagi orang dewasa
dibandingkan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Beberapa kelemahan yang dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah :
a.
Pada pasal 29 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tersebut
mengatur pidana bersyarat dikenakan hanya pada anak sebagai pelaku yang
dijatuhkan putusan pidana penjara oleh Hakim Anak , dalam artian tidak
dikenakan atau diberlakukan jika anak tersebut dikenakan pidana kurungan,
denda, maupun pidana tambahan lainnya.
Padahal jika dilihat pada ketentuan Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) terlihat jelas bahwasanya ketentuan dapat dikenakannya pidana
bersyarat tidak hanya jika pelaku dikenakan pidana penjara ( Pasal 14a ayat (1)
), akan tetapi juga dapat diberlakukan ketika pelaku dikenakan pidana kurungan
dan denda ( Pasal 14a ayat (2) ).
Dari perbedaan
ketentuan di atas tergambar suatu keadaan dimana kesempatan bagi anak sebagai
pelaku untuk memperoleh pidana bersyarat lebih kecil dibandingkan dengan orang
dewasa yang memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh pidana bersyarat
karena mengacu kepada aturan didalam KUHP. Hal tersebut menunjukkan adanya
suatu diskriminatif, dimana seharusnya “anak” sebagai pelaku lah yang lebih
besar mendapatkan kesempatan pidana bersyarat dibandingkan orang dewasa yang
melakukan suatu tindak pidana. Maka secara langsung hal tersebut juga
menunjukkan tidak terlaksananya Azas
Kepentingan Terbaik Anak, ialah bahwasanya kepentingan terbaik anak harus
dipandang sebagai Paramount Importance
atau Prioritas Utama.
b.
Dalam Undang-undang atau rumusan Pasal tersebut maupun
di dalam penjelasan pasalnya tidak memberikan kriteria atau parameter yang
jelas untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi Hakim Anak untuk
menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak sebagai “pelaku”. Hal tersebut dapat
berakibat kepada dasar pertimbangan para Hakim Anak yang berbeda-beda dalam
menjatuhkan pidana bersyarat untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang anak, karena hal tersebut hanya merupakan kewenangan dari Hakim Anak
itu sendiri. Padahal jika ada kriteria-kriteria yang jelas maka Keputusan Hakim
tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, korban, terutama kepada
anak yang divonis oleh Hakim tersebut.
2. Pasal 30 UU No.3 Tahun 1997
Pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak tersebut mengatur terkait Pidana Pengawasan bagi anak sebagai
pelaku tindak pidana. Pidana pengawasan merupakan jenis sanksi baru yang
diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut yang diterapkan
untuk perkara-perkara pidana anak.
Pidana Pengawasan menurut Undang-undang ini adalah
pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh
Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak
tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan.
Di dalam Pasal ini juga menunjukkan adanya kelemahan
dari pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tersebut,
ialah diamana tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai aturan pelaksanaan
dari pidana pengawasan tersebut, sehingga hal ini dapat berdampak kepada
kinerja daripada aparat penegak hukum dalam praktek pelaksanaan daripada aturan
perundangan-undangan tersebut. Kemudian daripada itu diharapkan agar dengan
adanya pidana pengawasan trsebut kemerdekaan atau kebebasan anak dalam hal-hal
ang menjadi ak-hak nya tidak terbelenggu dengan adanya pengawasan tersebut.
Referensi :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak
Ijin gan., sya copas buat acuan + landasan makalah ane.,
BalasHapussmoga dpat menjadi landasan yang tepat. makasih.
izin mau copas ya buat tugas
BalasHapusMohon ijin copas untuk tugas.....terima kasih sebelumnya
BalasHapusmeminta ijin copas kepada penulis untuk referesi untuk tugas makalah.terima kasih.
BalasHapus