Sabtu, 27 April 2013

SUDAH MAKSIMALKAH PERLINDUNGAN ITU???

 
ANALISIS
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
By : Anneka Saldian Mardhiah

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
        Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
        Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)  
        BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
        Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!
@hak cipta

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Sebagai upaya agar diberikannya perlindungan bagi saksi dan korban yaitu segala upaya dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka dibentuklah dan disahkanlah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, seiring dengan diberlakukannya undang-undang tersebut di dalam masyarakat, ternyata masih ada kekurangan-kekurangan atau kelemahan dari beberapa rumusan pasal dalam undang-undang tersebut, diantaranya adalah :

1.      Pasal 5 ayat (1) huruf a
Seorang saksi dan korban berhak ; memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya
Hak asasi adalah hak yang bersifat universal yang melekat pada setiap orang tanpa terkecuali mulai
dari ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Oleh karena itu selama manusia masih hidup, maka hak asasi akan tetap ada pada diri orang tersebut. Hak-hak tersebut tidak dapat diingkari karena pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat manusia.
Salah satu hak asasi tersebut di atas adalah perlindungan terhadap saksi dan korban. Saksi dan korban dalam suatu perkara pidana sudah semestinyalah harus diberikan jaminan perlindungan hukum oleh Negara, sebagaimana salah satu cirri dari Negara hukum itu sendiri, yaitu harus didasarkan atas asas kesamaan di depan hukum ( equality before the law ).
Akan tetapi rumusan pasal ini belum mencerminkan sebagaimana mestinya, yaitu memberikan perlindungan hukum agar adanya rasa aman bagi saksi dan korban maupun orang-orang terdekatnya. Sebagaimana halnya yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Pasal 28G ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah/kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak asasi“.
Dari aspek hak asasi manusia, Arif Gosita menyebutkan bahwa “Perlindungan terhadap korban merupakan kewajiban asasi manusia baik seseorang, sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun pemerintah “.
Paradigma yang berkembang dalam masyarakat sekarang adalah dimana masyarakat berfikir bahwasanya menjadi seorang saksi dan/atau korban yang mengetahui suatu tindak kejahatan keamanannya akan terancam, karena beranggapan bahwa bisa jadi Pelaku/keluarga dari pelaku menyimpan dendam atas kesaksian atau pengakuannya tersebutm, karena akibatnya adalah pelaku atau salah satu keluarganya telah dihukum atau dipidana. Jadi, tidaklah asing kalau sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia, tidak mau atau takut untuk menjadi saksi, tidak mau atau takut untuk terlibat dalam suatu kasus tindak pidana, karena akan dapat mengancam keamanan pribadi dari saksi dan/atau korban maupun keluarganya.

2.      Pasal 5 ayat (1) huruf f
Seorang saksi dan korban berhak; mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
Pada dasarnya ketentuan pada pasal ini memberikan peluang hak bagi saksi maupun korban untuk bisa mengetahui perkembangan kasus yang sedang dijalani baik ditingkat kepolisian maupun kejaksaan / penyelidikan dan penyidikan.
Dalam penjelasan umum Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa alasan dimasukkannya rumusan Pasal tersebut, ialah karena seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan secara lengkap dan terbuka kepada saksi dan korban.
Walaupun pada penjelasan di atas alasan daripada pencantuman pasal tersebut adalah suatu bentuk perlindungan terhadap hak saksi dan korban. Akan tetapi pada prakteknya, di dalam masyarakat yang berlaku sekarang pada umumnya adalah masih jauh dari tujuan yang diinginkan dalam pasal tersebut. Karena yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya, yaitu terlebih khusus kepada korban, dimana pelayanan dari aparat penegak hukum terhadap seseorang yang menjadi korban kejahatan dalam memberikan informasi terkait kasus yang dialami oleh korban tersebut tidak transparan dan tidak detail dalam pemberian informasi perkembangan kasus tersebut.
Kurang diresponnya korban ketika mempertanyakan kasus yang diajukan ke pihak yang berwajib, baik itu dalam lingkup delik aduan maupun delik biasa merupakan bentuk nyata tidak terlaksananya dengan baik salah satu dari hak korban dan saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf UU Nomor 13 Tahun 2006.
Pada dasarnya hak korban dan saksi yang dijamin oleh undang-undang terkait “mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus” adalah sebagai bentuk pengawasan dari masyarakat sendiri mengenai penanganan suatu kasus kejahatan yang meresahkan masyarakat, yaitu apakah kasus yang telah diajukan ke aparat penegak hukum sudah diproses sebagaimana mestinya agar secepatnya dilimpahkan ke pengadilan untuk mengadili pelaku kejahatan sebagai bentuk penegakkan hukum, atau sebaliknya apakah kasus kejahatan tersebut belum sama sekali/tidak diproses oleh pihak yang berwajib, dimana kasus tersebut berlarut-larut didiamkan sampai akhirnya hilang dari permukaan karena daluwarsa atau dengan kata lain kasus tersebut hanya “diam di tempat”, yang dapat diduga adanya perbedaan perlakuan yang mengistimewakan pelaku kejahatan/pihak-pihak tertentu (seperti akibat adanya suap menyuap terhadap aparat penegak hukum), terlebih lagi pada saat sekarang ini di Indonesia mengalami krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di Indonesia. Apalagi jika proses hukum yang tidak berjalan tersebut juga dibarengi dengan tidak dilakukannya penahanan terhadap pelaku kejahatan (pelaku bebas berkeliaran dalam pergaulan masyarakat), sehingga mencerminkan kalau hukum itu tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.
3.      Pasal 28
Syarat perlindungan yang diberikan terhadap saksi dan/atau korban ; sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban, tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban, hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban, rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban
Dengan adanya rumusan Pasal 28 Undang-undang Perlindungan saksi dan korban tersebut terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh korban dan/atau saksi sebelum mendapatkan perlindungan hukum menunjukkan bahwa substansi dari pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut masih belum berpihak sepenuhnya kepada korban maupun saksi. Karena menurut hemat Penulis, perlindungan terhadap saksi dan korban adalah harga mutlak yang harus didapat atau diberikan, sebab dengan masih adanya syarat-syarat yang harus yang harus dipenuhi oleh saksi dan korban sebelum bisa mendapatkan perlindungan yang dalam hal ini dilaksanakan oleh LPSK akan berimplikasi atau beedampak pada gagalnya korban dan/atau saksi untuk memperoleh hak-haknya, dan hal ini bertolak belakang dari pada hak saksi dan korban sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.      Pasal 34 ayat (1)
LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau korban
Yang dimaksud dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada saksi dan/atau korban.
Analisis sebelumnya terhadap Pasal 28 erat kaitannya dan berdampak pada rumusan dari Pasal 34 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006. Yang menimbulkan permasalahan adalah adanya penentuan kelayakan oleh LPSK untuk dapat atau tidaknya memberikan bantuan dalam hal perlindungan kepada saksi dan/atau korban. Hal tersebut adalah karena sesuai dengan yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwasanya perlindungan terhadap saksi dan korban adalah hak mutlak yang melekat pada diri saksi maupun korban tersebut. Hak asasi yang tidak dapat dikesampingkan hanya karena adanya batasan “kelayakan”.

KESIMPULAN
Dilihat daripada pentingnya peran saksi dan/atau korban dalam suatu proses peradilan pidana, maka sudah sewajarnyalah bangsa Indonesia sebagai Negara yang berbasis hukum untuk memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban.
Namun, seiring berjalannya waktu, pelaksanaan daripada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih sangat jauh daripada apa yang menjadi tujuan dibuatnya undang-undang tersebut, dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana. Hal tersebut diakibatkan karena dalam prakteknya perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi belum sepenuhnya terlaksana, karena diakibatkan oleh hak-hak daripada saksi dan/atau korban itu sendiri yang masih belum dipenuhi secara keseluruhan oleh pihak-pihak terkait.
Oleh karena itu, Penulis menyarankan agar pelaksanaan dari pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dalam prakteknya di dalam masyarakat lebih diperhatikan lagi, dan harus sepenuhnya memberikan hal-hal yang menjadi hak mutlak dari pada saksi dan/atau korban dalam mendapatkan perlindungan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar