ANALISIS
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG
PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
By : Anneka Saldian Mardhiah
By : Anneka Saldian Mardhiah
NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..
Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
Tapi
hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas, makalah,dll)
BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP
PLAGIAT!!
@hak cipta
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami
sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan
kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Sebagai upaya agar diberikannya perlindungan bagi saksi dan korban yaitu segala
upaya dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka dibentuklah dan disahkanlah
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun,
seiring dengan diberlakukannya undang-undang tersebut di dalam masyarakat,
ternyata masih ada kekurangan-kekurangan atau kelemahan dari beberapa rumusan
pasal dalam undang-undang tersebut, diantaranya adalah :
1.
Pasal 5 ayat (1) huruf a
“ Seorang saksi dan korban berhak ; memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah
diberikannya”
Hak asasi adalah hak yang bersifat universal yang
melekat pada setiap orang tanpa terkecuali mulai
dari ia dilahirkan sampai
meninggal dunia. Oleh karena itu selama manusia masih hidup, maka hak asasi
akan tetap ada pada diri orang tersebut. Hak-hak tersebut tidak dapat diingkari
karena pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat manusia.
Salah satu hak asasi tersebut di atas adalah
perlindungan terhadap saksi dan korban. Saksi dan korban dalam suatu perkara
pidana sudah semestinyalah harus diberikan jaminan perlindungan hukum oleh Negara,
sebagaimana salah satu cirri dari Negara hukum itu sendiri, yaitu harus
didasarkan atas asas kesamaan di depan hukum ( equality before the law ).
Akan tetapi rumusan pasal ini belum mencerminkan
sebagaimana mestinya, yaitu memberikan perlindungan hukum agar adanya rasa aman
bagi saksi dan korban maupun orang-orang terdekatnya. Sebagaimana halnya yang
diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) pada Pasal 28G ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah/kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu merupakan hak asasi“.
Dari aspek hak asasi manusia, Arif Gosita menyebutkan
bahwa “Perlindungan terhadap korban
merupakan kewajiban asasi manusia baik seseorang, sebagai anggota keluarga,
masyarakat, maupun pemerintah “.
Paradigma yang berkembang dalam masyarakat sekarang
adalah dimana masyarakat berfikir bahwasanya menjadi seorang saksi dan/atau
korban yang mengetahui suatu tindak kejahatan keamanannya akan terancam, karena
beranggapan bahwa bisa jadi Pelaku/keluarga dari pelaku menyimpan dendam atas
kesaksian atau pengakuannya tersebutm, karena akibatnya adalah pelaku atau
salah satu keluarganya telah dihukum atau dipidana. Jadi, tidaklah asing kalau
sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia, tidak mau atau takut untuk menjadi
saksi, tidak mau atau takut untuk terlibat dalam suatu kasus tindak pidana,
karena akan dapat mengancam keamanan pribadi dari saksi dan/atau korban maupun
keluarganya.
2.
Pasal 5 ayat (1) huruf f
“ Seorang saksi dan korban berhak; mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus ”
Pada dasarnya ketentuan pada pasal ini memberikan
peluang hak bagi saksi maupun korban untuk bisa mengetahui perkembangan kasus
yang sedang dijalani baik ditingkat kepolisian maupun kejaksaan / penyelidikan
dan penyidikan.
Dalam penjelasan umum Undang-undang Perlindungan Saksi
dan Korban disebutkan bahwa alasan dimasukkannya rumusan Pasal tersebut, ialah
karena seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di
pengadilan, tapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang
bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan
kasus diberikan secara lengkap dan terbuka kepada saksi dan korban.
Walaupun pada penjelasan di atas alasan daripada
pencantuman pasal tersebut adalah suatu bentuk perlindungan terhadap hak saksi
dan korban. Akan tetapi pada prakteknya, di dalam masyarakat yang berlaku
sekarang pada umumnya adalah masih jauh dari tujuan yang diinginkan dalam pasal
tersebut. Karena yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya, yaitu terlebih
khusus kepada korban, dimana pelayanan dari aparat penegak hukum terhadap
seseorang yang menjadi korban kejahatan dalam memberikan informasi terkait
kasus yang dialami oleh korban tersebut tidak transparan dan tidak detail dalam
pemberian informasi perkembangan kasus tersebut.
Kurang diresponnya korban ketika mempertanyakan kasus
yang diajukan ke pihak yang berwajib, baik itu dalam lingkup delik aduan maupun
delik biasa merupakan bentuk nyata tidak terlaksananya dengan baik salah satu
dari hak korban dan saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
UU Nomor 13 Tahun 2006.
Pada
dasarnya hak korban dan saksi yang dijamin oleh undang-undang terkait
“mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus” adalah sebagai bentuk
pengawasan dari masyarakat sendiri mengenai penanganan suatu kasus kejahatan
yang meresahkan masyarakat, yaitu apakah kasus yang telah diajukan ke aparat
penegak hukum sudah diproses sebagaimana mestinya agar secepatnya dilimpahkan
ke pengadilan untuk mengadili pelaku kejahatan sebagai bentuk penegakkan hukum,
atau sebaliknya apakah kasus kejahatan tersebut belum sama sekali/tidak
diproses oleh pihak yang berwajib, dimana kasus tersebut berlarut-larut
didiamkan sampai akhirnya hilang dari permukaan karena daluwarsa atau dengan
kata lain kasus tersebut hanya “diam di tempat”, yang dapat diduga adanya perbedaan
perlakuan yang mengistimewakan pelaku kejahatan/pihak-pihak tertentu (seperti
akibat adanya suap menyuap terhadap aparat penegak hukum), terlebih lagi pada
saat sekarang ini di Indonesia mengalami krisis kepercayaan masyarakat terhadap
penegak hukum di Indonesia. Apalagi jika proses hukum yang tidak berjalan
tersebut juga dibarengi dengan tidak dilakukannya penahanan terhadap pelaku
kejahatan (pelaku bebas berkeliaran dalam pergaulan masyarakat), sehingga
mencerminkan kalau hukum itu tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.
3.
Pasal 28
“ Syarat perlindungan yang diberikan terhadap
saksi dan/atau korban ; sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban,
tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban, hasil analisis tim
medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban, rekam jejak kejahatan yang
pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban “
Dengan
adanya rumusan Pasal 28 Undang-undang Perlindungan saksi dan korban tersebut
terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh korban dan/atau saksi sebelum
mendapatkan perlindungan hukum menunjukkan bahwa substansi dari pada
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut masih belum berpihak sepenuhnya
kepada korban maupun saksi. Karena menurut hemat Penulis, perlindungan terhadap
saksi dan korban adalah harga mutlak yang harus didapat atau diberikan, sebab
dengan masih adanya syarat-syarat yang harus yang harus dipenuhi oleh saksi dan
korban sebelum bisa mendapatkan perlindungan yang dalam hal ini dilaksanakan
oleh LPSK akan berimplikasi atau beedampak pada gagalnya korban dan/atau saksi
untuk memperoleh hak-haknya, dan hal ini bertolak belakang dari pada hak saksi
dan korban sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban, serta tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.
Pasal 34 ayat (1)
“ LPSK menentukan kelayakan diberikannya
bantuan kepada saksi dan/atau korban ”
Yang dimaksud dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak kepada saksi dan/atau korban.
Analisis sebelumnya terhadap Pasal 28 erat kaitannya
dan berdampak pada rumusan dari Pasal 34 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006.
Yang menimbulkan permasalahan adalah adanya penentuan kelayakan oleh LPSK untuk
dapat atau tidaknya memberikan bantuan dalam hal perlindungan kepada saksi
dan/atau korban. Hal tersebut adalah karena sesuai dengan yang telah dijabarkan
sebelumnya, bahwasanya perlindungan terhadap saksi dan korban adalah hak mutlak
yang melekat pada diri saksi maupun korban tersebut. Hak asasi yang tidak dapat
dikesampingkan hanya karena adanya batasan “kelayakan”.
KESIMPULAN
Dilihat daripada pentingnya peran saksi dan/atau korban dalam suatu
proses peradilan pidana, maka sudah sewajarnyalah bangsa Indonesia sebagai Negara yang
berbasis hukum untuk memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban.
Namun, seiring berjalannya waktu, pelaksanaan daripada Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih sangat jauh
daripada apa yang menjadi tujuan dibuatnya undang-undang tersebut, dalam rangka
menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana. Hal tersebut
diakibatkan karena dalam prakteknya perlindungan hukum dan keamanan kepada
setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu
mengungkap tindak pidana yang telah terjadi belum sepenuhnya terlaksana, karena
diakibatkan oleh hak-hak daripada saksi dan/atau korban itu sendiri yang masih belum
dipenuhi secara keseluruhan oleh pihak-pihak terkait.
Oleh karena itu, Penulis menyarankan agar pelaksanaan dari pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dalam prakteknya di dalam masyarakat lebih
diperhatikan lagi, dan harus sepenuhnya memberikan hal-hal yang menjadi hak
mutlak dari pada saksi dan/atau korban dalam mendapatkan perlindungan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar